Suara.com - Perempuan masih cenderung menjadi korban utama ujaran kebencian di dunia maya, menurut sebuah riset yang baru saja diterbitkan Uni Eropa.
Studi itu mengatakan kalau wanita lebih banyak menjadi korban kekerasan dunia digital seperti bahasa kasar, pelecehan, hingga hasutan untuk melakukan kekerasan seksual.
Laporan itu juga membandingkan ujaran kebencian yang diberikan pada orang Afrika, di mana korban dari kalangan perempuan cenderung lebih tinggi tiga kali lipat.
“Besarnya jumlah kebencian yang kami identifikasi di media sosial jelas menunjukkan bahwa UE, negara-negara anggotanya, dan platform online dapat meningkatkan upaya mereka untuk menciptakan ruang online yang lebih aman bagi semua orang,” kata Direktur Fundamental Right Agency Uni Eropa, Michael O’Flaherty, dikutip dari Gizchina, Senin (4/12/2023).
Baca Juga: Ulasan Buku 'Aku Bukan Perempuan Cengeng', Menangis Bukan Tanda Kelemahan
Ia mengatakan, ujaran kebencian di dunia maya berdampak besar pada keselamatan, kesejahteraan, dan partisipasi perempuan di dunia digital. Maka dari itu, perlu sebuah kebijakan untuk mengatasi masalah ini.
Dampak psikologis dan emosional dari pelecehan online pun bisa sangat besar, yang kemudian menimbulkan perasaan takut, cemas, mawas diri untuk kalangan perempuan.
Ujaran kebencian di dunia digital turut berdampak pada naiknya stigma misogini hingga kekerasan berbasis gender.
Temuan lain dalam riset itu mengatakan kalau moderasi konten yang diterapkan saat ini belum memadai. Sebab masih banyak komentar kasar, pelecehan, dan hasutan untuk melakukan kekerasan yang lolos dari alat moderasi konten platform media sosial masing-masing.
Hal ini menunjukkan perlunya strategi moderasi konten yang lebih kuat dan efektif untuk memerangi ujaran kebencian di dunia digital.
Baca Juga: Momen Aaliyah Massaid dan Syahnaz Sadiqah saat Satu frame, Netizen: Kayak Seumuran
Riset itu mengatakan kalau peningkatan moderasi konten sangat penting untuk menciptakan lingkungan online yang lebih aman bagi perempuan maupun kelompok marjinal lainnya.
Hal ini memerlukan pendekatan multi-aspek, termasuk pengembangan alat moderasi yang lebih canggih, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dari platform online, serta kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk organisasi masyarakat sipil dan lembaga penegak hukum.
Untuk mengatasi masalah ini memerlukan upaya bersama untuk meningkatkan moderasi konten, memperkuat kerangka hukum dan kebijakan, serta mendorong inisiatif literasi digital dan keamanan online.