Suara.com - Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria mengungkapkan kalau saat ini ada 22,1 persen pekerja di Indonesia yang mulai memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Nezar mengutarakan kalau para pekerja tersebut ada di berbagai sektor mulai dari informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, hingga sektor pemerintahan dan pertahanan.
“Pemanfaatan AI di Indonesia sangat gencar saat ini dan AI telah membantu sekitar 22,1% pekerja di Indonesia dari berbagai sektor," kata Wamenkominfo Nezar Patria, dikutip dari siaran pers, Kamis (30/11/2023).
Mengutip data Statista dan Kearney & CSET, Nezar Patria menjelaskan pemanfaatan AI di Indonesia akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 366 Miliar Dolar AS atau Rp 5.666 triliun di tahun 2030.
Baca Juga: Kominfo Panggil KPU Buntut Dugaan Kebocoran Data 250 Juta Orang
"Jumlah itu memberikan setara dengan 40 persen Pendapatan Domestik Bruto ASEAN yang meningkat dengan pemanfaatan AI," lanjut dia.
Untuk nilai pasar global, AI bakal mencapai angka 142,3 Miliar Dolar AS atau Rp 2.203 triliun di tahun 2023. Lalu di tingkat ASEAN, kontribusi AI bagi PDB ASEAN di tahun 2030 diprediksi mencapai 1 Triliun Dolar AS atau Rp 15.481 triliun.
"Jadi besar sekali, dan di Indonesia sendiri kontribusinya hampir 40 persen dari ASEAN itu yakni sebesar 366 Miliar Dolar AS,” tuturnya.
Kendati begitu, ia menyebut kalau pemerintah telah memetakan sejumlah tantangan atas kehadiran teknologi AI. Wamenkominfo mencontohkan algoritma AI yang berpotensi menimbulkan bias, halusinasi, dan diskriminasi.
“Juga dari sektor informasi memberikan dampak information disorder karena dia bisa menghasilkan misinformasi dan disinformasi sehingga kita perlu satu upaya untuk membuat panduan penggunaan AI,” imbuhnya.
Baca Juga: Ikut Turun Tangan, Kominfo Selidiki Kasus Kebocoran Data Pemilih
Kominfo sendiri telah menerbitkan Surat Edaran AI yang melibatkan stakeholders. Nezar menegaskan hal itu sebagai upaya Kementerian Kominfo menghadirkan tata kelola AI nasional yang lebih inklusif.
“(Surat Edaran AI) ini sifatnya lebih semacam panduan etika penggunaan AI. Jadi seperti soft regulations, semacam acuan normatif bagi para pelaku usaha terutama yang mengembangkan, mendesain, dan mengembangkan AI,” tuturnya.
Kendati begitu surat edaran ini tak menutup kemungkinan sebagai dasar untuk regulasi yang mengatur soal AI.
“Ke depannya nanti kita perlu mulai memikirkan regulasi yang legally binding yang orientasi pada perlindungan pengguna dan masyarakat luas dengan mempertimbangkan safety dan security-nya. Sehingga optimalisasi pemanfaatan AI dapat kita berdayakan untuk mewujudkan Indonesia yang terkoneksi, makin digital, makin maju,” tegas dia.