Suara.com - Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria mengaku belum khawatir kalau teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) digunakan untuk kampanye negatif jelang Pemilu 2024 maupun Pilpres 2024.
Nezar menyatakan kalau pihaknya belum menemukan kasus kampanye negatif berbasis penggunaan teknologi AI.
"Kalau kami lihat saat ini belum pada level itu, karena penggunaan AI ini, apalagi deepfake, pada umumnya kan menghadirkan satu informasi yang too good to be true. Atau kadang-kadang juga sesuatu yg di luar kebiasaan yang diketahui oleh publik," katanya saat ditemui di acara Media Gathering Kominfo yang digelar di Hotel The Westin Jakarta, Jumat (24/11/2023) lalu.
Wamenkominfo menilai kalau publik saat ini bisa dengan cepat mengidentifikasi suatu karya berbasis teknologi AI dengan kritis.
Baca Juga: Survei Terbaru LSN: Elektabilitas Prabowo-Gibran Unggul Jauh Dari 2 Pasangan Lain
"Jadi saya melihat ada kekritisan publik juga dengan produk-produk AI ini," terangnya.
Kendati begitu dia tak menampik kalau penggunaan AI bisa lebih canggih di kemudian hari. Tak menutup kemungkinan kalau publik bisa terkecoh dengan produk tersebut.
"Kayak kemarin kan, misalnya ada gambar di media sosial wajah seseorang yang kemudian dipakai untuk satu video yang melanggar asas-asas kesusilaan. Itu kan sebenernya dia memakai AI, tapi dia tidak transparan," bebernya.
Maka dari itu, Nezar mengatakan kalau surat panduan AI yang diterbitkan Kominfo bisa menjadi rujukan publik untuk menanggapi fenomena kecerdasan buatan di Indonesia.
Di sisi lain, Nezar mengakui kalau Kominfo belum mengeluarkan pemberitahuan spesifik untuk memitigasi penggunaan AI dalam kampanye mendatang.
Baca Juga: Panduan AI Versi Kominfo Gabungan dari Aturan AS-Eropa-China
"Spesifik untuk kampanye belum ya, tetapi surat edaran panduan etik penggunaan Ai itu segera kita keluarkan. Kami berharap para pengguna AI, juga para pengembang itu yang menggunakan teknologi AI ini, setidaknya mengacu kepada nilai-nilai misalnya transparansi inklusivitas," papar dia.
Ia juga menyarankan publik untuk menggunakan watermark alias penanda apabila mereka membuat produk berbasis AI. Hal itu dilakukan demi menghindari kekacauan informasi.
"Misalnya dengan memberikan watermarking atau label di situ, bahwa produk yang ditampilkan di media sosial itu adalah hasil karya artificial intelligence. Dengan demikian publik tahu bahwa karakter yang ada di dalam satu video misalnya itu adalah hasil penggunaan AI," saran dia.
Lebih lanjut ia mengutarakan kalau pihaknya tidak mengawasi soal kampanye Pemilu hasil produk AI. Sebab hal itu adalah ranah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kalau pengawasan soal kampanye itu ada di Bawaslu dan juga di KPU. Kami tidak masuk di ranah itu," ujarnya.
Kendati begitu, Kominfo akan tetap mengantisipasi soal penggunaan AI dalam kampanye lewat surat edaran yang bakal terbit Desember mendatang.
"Tetapi yang kami coba atur atau kita coba antisipasi adalah di upstream, di dalam proses produksi. Misalnya kita harapkan para pengembang ataupun para pengguna aplikasi AI ini bisa menerapkan prinsip transparansi," paparnya.
"Saya kira di era di mana teknologi Ai begitu gencar diterapkan yang paling penting adalah keluarga kita bisa menajamkan berpikir kritis dalam melihat semua produk-produk yang dihasilkan oleh artificial intelligence," jelas Nezar.
Target Desember
Nezar menargetkan kalau pedoman AI buatan Kominfo ini terbit pada Desember 2023 nanti. Untuk tahap awal panduan itu masih belum dibuat dalam bentuk Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Menteri (Permen), atau peraturan lain yang sifatnya mengikat.
Ia mengaku kalau pembuatan surat edaran AI ini memang sudah dibahas hampir setahun belakangan. Draf soal AI itu adalah hasil pengamatan Kominfo soal efek, baik di lingkup global maupun internasional.
Surat edaran AI itu, lanjutnya, juga berisi masukan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pemakaian teknologi tersebut.
"Draf ini coba kami diskusikan besok, pekan depan, Senin. Itu nanti kami akan lihat masukan-masukan dari berbagai stakeholder, yang nantinya akan kami keluarkan. Mudah-mudahan awal Desember sudah punya surat edaran panduan pengembangan AI," beber dia.
Berbekal surat itu, Nezar menilai kalau Indonesia setidaknya sudah punya seperangkat regulasi untuk mengantisipasi AI. Ini bakal melengkapi peraturan yang sudah ada seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
"Ini diharapkan cukup untuk, paling tidak antisipasi awal untuk dalam peraturan AI," lanjutnya.
"Nantinya dari sana kita akan naik lagi ke step-step berikutnya. Selalu saja teknologi lahir lebih cepat dari regulasi," pungkasnya.