Suara.com - Lebih dari 85 persen penduduk dunia khawatir akan dampak negatif hoaks di internet dan 87 persen yakin berita bohong online sudah merusak politik di negara mereka masing-masing.
Ini adalah hasil survei global yang digelar oleh Unesco, organisasi pendidikan dan kebudayaan di bawah PBB yang dirilis pada Senin (7/11/2023). Unesco pada hari yang sama mengumumkan rencana untuk mengentaskan hoaks di dunia.
Direktur Jenderal Unesco Audrey Azoulay mengatakan bahwa hoaks dan ujaran kebencian online, yang diakselerasi serta diamplifikasi oleh media sosial, berpotensi besar merusak kohesi sosial, perdamaian juga stabilitas dunia.
Ia mengatakan, saat ini diperlukan regulasi untuk melindungi akses informasi, tetapi di saat yang sama kebebasan untuk berekspresi dan hak asasi manusia juga harus dilindungi.
Baca Juga: Anak Sekecil Itu Seharusnya Tidak Berkelahi dengan Adsense
Survei yang digelar Unesco bersama Ipsos itu melibatkan 8000 responden dari beberapa negara antara lain Austria, Kroasia, Amerika Serikat, Aljazair, Meksiko, Ghana dan India.
Dari survei itu ditemukan bahwa 56 persen pengguna internet memperoleh informasi dari media sosial, sisanya (44 persen) dari TV dan situs berita (29 persen).
Sekitar 68 persen responden mengaku bahwa berita palsu banyak menyebar di media sosial, sementara 38 persen mengatakan hoaks menyebar di aplikasi pesan.
Sebanyak 85 persen responden juga menyadari bahwa hoaks adalah ancaman yang nyata dan mengkhawatirkan. Sekitar 87 persen responden juga mengatakan bahwa hoaks sudah berpengaruh negatif terhadap kehidupan politik, termasuk pemilihan umum.
Ujaran kebencian juga menyebar luas di internet. Sebanyak 67 persen responden mengatakan pernah menemukan ujaran kebencian di internet. Juga 88 persen responden mengatakakan pemerintah harus mengatasi masalah penyebaran ujaran kebencian dan hoaks di media sosial.
Mayoritas responden juga merasa perusahaan-perusahaan media sosial harus mengambil tindakan untuk mengentaskan hoaks dan ujaran kebencian dari layanan mereka.
Unesco sendiri mengatakan bahwa negara-negara dunia harus mengatur media sosial, tetapi tanpa mengorbankan kebebasan berpendapat serta hak asasi manusia.