Presiden Jokowi Didesak Kaji Ulang Rancangan Perpres Publishers Rights

Dythia Novianty Suara.Com
Sabtu, 29 Juli 2023 | 12:15 WIB
Presiden Jokowi Didesak Kaji Ulang Rancangan Perpres Publishers Rights
Ilustrasi jurnalistik. (freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesian Digital Association (IDA) mendesak  Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengkaji ulang naskah Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas.

Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito menegaskan pentingnya memastikan semua kompensasi dari platform untuk penerbit media benar-benar digunakan untuk membiayai produksi jurnalisme
yang berkualitas.

"Harus ada jaminan bahwa peraturan ini berdampak pada kesejahteraan jurnalis. Karena itu penting draft terakhir rancangan Perpres dibuka ke publik untuk mendapat masukan dan hasil terbaik," tegasnya.

Sasmito juga menekankan bahwa penting, peraturan ini dapat diawasi dan ditegakkan oleh badan pelaksana atau komite yang independen dari kepentingan platform, industri media, maupun pemerintah.

Baca Juga: AMSI, AJI, IJTI dan IDA Harap Presiden Jokowi Bisa Mencontoh Negara Lain Terkait Perpres Publishers Rights

Namun demikian, kewenangan badan pelaksana atau komite tersebut harus tunduk kepada Undang-Undang Pers dan tidak mengambil kewenangan dari Dewan Pers.

Sementara itu, Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut menegaskan bahwa substansi Perpres tersebut seharusnya tidak lepas dari upaya memperbaiki ekosistem jurnalisme di Indonesia.

Ilustrasi Media Online. (Pixabay)
Ilustrasi Media Online. (Pixabay)

"Tujuan kita semua adalah menciptakan bisnis media yang sehat dengan konten jurnalisme yang berkualitas," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Sabtu (29/7/2023).

Namun, Wens mengingatkan, platform digital juga perlu dilibatkan sebagai pemangku kepentingan ekosistem informasi di Indonesia.

"Kebuntuan dalam pembahasan rancangan Perpres harus dipecahkan dengan mencari win win solution," dia menambahkan.

Baca Juga: Kronologi Kasus Korupsi Tambang Nikel hingga Pejabat ESDM Ditahan dan Negara Rugi Rp5,7 T

Solusi yang sudah diterapkan di negara lain, misalnya "designation clause"yang ada dalam Media Bargaining Code di Australia, bisa diterapkan di Indonesia.

Dengan pasal itu, hanya platform yang menolak berkontribusi secara signifikan pada upaya memperbaiki ekosistem media yang diwajibkan memenuhi ketentuan dalam peraturan.

Sampai saat ini, draft terakhir Perpres Publishers Rights yang beredar, tidak memasukkan klausul tersebut.

Sedangkan Ketua Umum IDA Dian Gemiano mengungkapkan aspirasi organisasinya agar Perpres ini tidak menjadi langkah mundur untuk industri media digital di Indonesia.

“Kami sangat mendukung regulasi untuk memastikan keberlanjutan jurnalisme berkualitas di Indonesia, namun dengan pertimbangan dinamika industri saat ini harus dilihat pula dengan bijak risiko-risiko yang dapat mendisrupsi keberlangsungan bisnis media jika seluruh pemangku kepentingan belum sepakat dengan rancangan regulasi yang ada, ” ungkapnya.

Untuk itu, Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan meminta agar regulasi ini semata mata untuk menciptakan rasa keadilan bagi seluruh penerbit media termasuk yang berskala menengah maupun kecil sehingga tercipta ekosistem media digital yang sehat, berkualitas, profesional dan mensejahterakan para jurnalisnya.

Logo Google. [Kai Wenzel/Unsplash]
Logo Google. [Kai Wenzel/Unsplash]

"Regulasi ini dibuat untuk memastikan media yang memproduksi dan melaksanakan kerja kerja jurnalistik yang berkualitas dapat terus tumbuh. Jangan sampai regulasi ini hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sementara banyak penerbit kecil, lokal, dan independen, yang juga harus terlindungi oleh adanya aturan semacam ini," jelasnya.

Google Indonesia merespon rencana penandatanganan Perpres Publishers Rights ini dengan sebuah siaran pers pada 25 Juli 2023 yang menegaskan rencana mereka untuk tak lagi menayangkan konten berita di platformnya.

Aksi serupa pernah dilakukan Google di Australia dan Kanada. Di Australia, perusahaan teknologi itu akhirnya melunak setelah pemerintah setempat melakukan renegosiasi dengan tawaran win-win solution.

Jika ancaman Google benar-benar dilaksanakan, maka platform mesin pencari Google dan situs agregator video Youtube, tidak akan lagi menayangkan konten yang berasal dari penerbit media di Indonesia.

Selain kehilangan traffic pembaca, penerbit media juga berpotensi kehilangan miliaran rupiah pendapatan yang selama ini disalurkan oleh perusahaan teknologi raksasa tersebut.

Publik juga bakal kehilangan akses pada informasi penting dan kredibel yang diproduksi redaksi media massa, di periode krusial menjelang Pemilihan Umum 2024.

Desakan AMSI, AJI, IJTI dan IDA agar Presiden Joko Widodo mengkaji kembali isi Perpres Publishers Rights sesuai dengan prinsip global untuk relasi yang lebih adil antara penerbit media dan korporasi teknologi yang dirumuskan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 14 Juli 2023.

Didukung oleh 75 penerbit, jurnalis dan peneliti media dari 25 negara di dunia, prinsip ini menegaskan pentingnya setiap mekanisme yang mengatur hubungan platform digital dan perusahaan media tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

AMSI dan AJI merupakan dua organisasi dari Indonesia yang terlibat dalam perumusan prinsip global tersebut.

Ilustrasi kecerdasan buatan (Shutterstock).
Ilustrasi kecerdasan buatan (Shutterstock).

Peraturan Publishers Rights diharapkan tidak hanya mengatur soal kompensasi untuk konten berita, tapi juga melindungi hak cipta dari penerbit media yang kini terancam oleh keberadaan
mesin kecerdasan buatan (Generative AI).

Keberadaan aturan yang bisa mengakomodasi
kepentingan penerbit media dan platform digital di tengah berbagai perubahan teknologi saat ini adalah solusi ideal untuk memastikan ekosistem informasi digital lebih kredibel dan bermanfaat bagi publik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI