Suara.com - Baru-baru ini, para ahli dari negara Kepulauan Pasifik menyarankan penggunaan limbah nuklir untuk membangun infrastruktur beton kering. Jepang menentang usulan tersebut.
Para ahli dari Jepang menyatakan bahwa limbah nuklir dapat menyebabkan penguapan tritium radioaktif, yang berbahaya bagi manusia.
Sebelumnya, Jepang mengklaim bahwa limbah nuklir tidak berbahaya dan bahkan dapat diminum. Namun posisi Jepang berubah ketika menyangkut penggunaan limbah nuklir untuk bahan bangunan.
Pemerintah Jepang mulai melakukan uji coba peralatan, dengan membuang air laut ke terowongan bawah air yang dibangun untuk pelapasan air terkontaminasi nuklir ke laut dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi. Uji coba ini dimulai Senin (5/6/2023) waktu setempat.
Baca Juga: Penyediaan Infrastruktur Gas Harus Digenjot untuk Manfaatkan Momentum di Era Transisi Energi
Menurut Tokyo Electric Power Company (Tepco), selaku operator PLTN Fukushima Daiichi, terowongan yang strukturnya telah rampung dibangun pada April itu diisi sekitar 6.000 ton air laut, yang akan menyalurkan air yang terkontaminasi nuklir dari PLTN tersebut, ke titik sekitar satu kilometer di lepas pantai. Uji coba ini dilakukan Selasa (6/6/2023).
Dilansir dari Antara, Selasa (13/6/2023), uji coba ini dilakukan di tengah protes keras dari dalam maupun luar negeri yang mencemaskan dampak lingkungan, yang tidak dapat diperbaiki. Terlepas dari ketidakpastian dan bahaya yang mengkhawatirkan perihal zat radioaktif seperti tritium di dalam air, Jepang telah bergegas untuk membuang air terkontaminasi itu ke laut, sehingga memicu protes dari sejumlah kelompok sipil setempat, sejumlah negara tetangga, dan masyarakat Kepulauan Pasifik.
April 2021, pemerintah Jepang mengumumkan rencana kontroversialnya untuk membuang air limbah ke Samudra Pasifik dan menyampaikan pada Januari 2023 bahwa protes pembuangan itu akan dimulai pada musim semi atau panas.