Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi kalau hujan ekstrem akan melemah tahun depan. Meski mereda, mereka meminta warga waspada tren kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di 2023.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, alasan berakhirnya hujan ekstrem bersamaan dengan melemahnya La Nina. Menurut dia, fenomena tersebut akan semakin lemah dan pada akhirnya netral di tahun 2023.
"Dengan ini maka berakhirlah pengaruh la nina selama tiga tahun, mulai dari 2020, 2021, dan 2022," katanya dalam konferensi pers virtual, Kamis (29/12/2022).
Melansir situs BMKG, La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu muka laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah dari kondisi normal. Akibatnya, pendinginan ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.
Baca Juga: Waspada! Potensi Hujan Ekstrem Terjang Bekasi Esok Hari hingga Malam Tahun Baru 2023
"Di awal 2022 justru yang mengakibatkan hujan lebat di Jabodetabek, selain seruak udara dingin, juga ada la nina saat itu," sambung Dwikorita.
Dia memprediksi kalau la nina akan netral di sekitar Maret 2022. Dengan melemahnya la nina, maka curah hujan relatif lebih rendah ketimbang tahun 2022.
Namun Dwikorita menunjukkan kalau Mei 2023 nanti petanya akan coklat. Ia mengartikan kalau warna itu menunjukkan adanya potensi karhutla.
"Sehingga saat ini kami berkoordinasi dengan bu Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Tinggal disiapkan teknologi modifikasi cuaca. Kalau terlambat bisa karhutla," ungkapnya.
Dwikorita juga meminta masyarakat waspada di bulan Juli, Agustus, dan September karena saat itu curah hujan diprediksi semakin turun. Periode tersebut juga merupakan musim kemarau di Indonesia.
Baca Juga: Fenomena Bulan Baru, Banjir Rob Berpotensi Rendam Jakarta di Awal Januari 2023
Menurutnya, kondisi ini mirip seperti 2019 yang mana kemaraunya bersifat lebih kering. Beda dengan 2020 dan 2021 yang mengalami kemarau basah, di mana hujan masih turun pada musim tersebut.
"Jadi potensi untuk terjadinya karhutla itu meningkat dibanding tahun lalu dan tiga tahun terakhir. Ada potensi lebih kering selama tiga tahun terakhir ini, dan kurang lebih mendekati kondisi kemarau 2019," katanya.