Suara.com - Tidak ada plastik yang benar-benar dapat didaur ulang.
Menurut sebuah laporan baru yang dirilis pada Senin (24/10/2022) waktu setempat oleh Greenpeace USA, tidak ada produk plastik yang memenuhi standar industri umum untuk dapat didaur ulang, meskipun mereka memiliki simbol daur ulang "panah pengejaran".
Tingkat daur ulang plastik AS tidak pernah mencapai 10 persen dan sebuah laporan dari awal tahun ini mengungkapkan bahwa kini telah turun menjadi hanya 5 persen.
“Perusahaan bersembunyi di balik daur ulang plastik dan berharap itu akan benar-benar menyelesaikan krisis sampah plastik yang telah mereka bantu ciptakan,” kata Lisa Ramsden, juru kampanye laut senior untuk Greenpeace USA.
Baca Juga: Bijak Menggunakan Plastik: Langkah Kecil Selamatkan Bumi
Dia meminta perusahaan untuk mengurangi produksi plastik dan mengganti produk dan kemasan sekali pakai, dengan alternatif yang dapat digunakan kembali, seperti botol yang dapat diisi ulang.
Laporan Greenpeace, berjudul Circular Claims Fall Flat Again, didasarkan pada laporansebelumnya yang diterbitkan oleh organisasi tersebut pada 2020.
Sementara itu, simbol daur ulang dengan angka 1 dan 2 untuk menunjukkan jenis bahan pembuatnya, masing-masing polietilena tereftalat (PET) dan polietilen densitas tinggi (HDPE).
Sebagian besar fasilitas daur ulang tidak menerima atau mendaur ulang plastik bernomor 3 hingga 7, seperti polivinil klorida (PVC), polipropilen, dan polistirena karena sulit dipilah dan sering terkontaminasi bahan kimia beracun.
Tetapi laporan terbaru Greenpeace juga menyoroti tingkat daur ulang yang buruk, bagi mereka yang memenuhi definisi pemerintah tentang dapat didaur ulang, yang hanya mempertimbangkan apakah orang memiliki akses ke fasilitas daur ulang untuk jenis plastik tertentu.
Menurut analisis organisasi, tingkat pemrosesan ulang sebenarnya untuk botol dan kendi yang terbuat dari PET (nomor 1) hanya 21 persen, dan sekitar 10 persen untuk HDPE (nomor 2).
Meskipun kelompok industri bersikeras bahwa daur ulang plastik dapat ditingkatkan dengan infrastruktur pengumpulan yang lebih baik, Greenpeace mengatakan ini adalah kekeliruan.
Semua plastik memiliki masalah yang sama, yakni sangat sulit untuk dikumpulkan dan disortir, mereka melepaskan bahan kimia berbahaya selama proses daur ulang, dan sering sangat terkontaminasi dengan bahan kimia beracun sehingga harus "didaur ulang" menjadi produk bernilai lebih rendah, dikirim ke tempat pembuangan sampah, atau dibakar.
Tantangan-tantangan ini membuat daur ulang plastik terlalu mahal bagi perusahaan.
“Lebih murah untuk membeli plastik baru,” kata Ramsden.
Alih-alih menggandakan daur ulang, Greenpeace meminta perusahaan untuk mengurangi kemasan plastik mereka setidaknya 50 persen pada 2030, baik dengan menghilangkannya sama sekali atau dengan menggantinya dengan bahan yang dapat digunakan kembali.
Misalnya, perusahaan minuman ringan dapat bergerak ke arah "konsep tukang susu", seperti yang dikatakan Ramsden — sistem isi ulang di mana konsumen mengembalikan botol kaca setelah selesai digunakan.
Laporan itu juga mengatakan perusahaan harus menghilangkan plastik sekali pakai sama sekali.
“Daur ulang plastik sama sekali bukan solusi untuk krisis polusi plastik," kata Ramsden, dilansir laman Gizmodo, Selasa (25/10/2022).
Sebagai langkah awal, dia mendorong perusahaan untuk menghapus simbol daur ulang dari produk plastik, karena kebanyakan dari mereka tidak pernah didaur ulang.
"Panah pengejar menipu konsumen," katanya, yang berasumsi bahwa kemasan plastik yang mereka beli dapat didaur ulang, tetapi tidak bisa.