Pengembang aplikasi tidak dapat menolak kewajiban ini, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut.
Kewajiban ini menurut KPPU sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 persen dari harga konten digital yang dijual. Selain itu aplikasi juga berisiko kehilangan konsumen.
Selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi.
Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5 persen.
Ini diperkuat dengan temuan bahwa Google Play Store merupakan platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93 persen. Ada sejumlah toko aplikasi lain, tetapi bisa menjadi subsitusi Google Play Store di Tanah Air.
Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda, yaitu dengan mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling, aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).
KPPU juga menemukan untuk pembelian di aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan salah satu penyedia payment gateway/system. Sementara beberapa penyedia payment system lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut.
Kebijakan ini berbeda dengan yang diterapkan Google terhadap content provider global. Menurut KPPU, Google membuka kesempatan kerja sama dengan payment system alternatif.
Jawaban Google Indonesia
Baca Juga: Diselidiki KPPU Atas Dugaan Monopoli di Indonesia, Google Buka Suara
Menanggapi langkah KPPU itu, Google mengatakan pihaknya berharap bisa bekerja sama dengan untuk menunjukkan bagaimana Google Play telah mendukung para developer di Indonesia.