Suara.com - Imam Salehudin yang mengajar di UI dan Tangges Varen, mahasiswa S3 University of Queensland, Australia mengatakan bahwa pendaftaran PSE Lingkup Privat- terlepas dari kontroversi serta kecaman publik- memiliki manfaat yang tak kalah penting. Berikut ulasan mereka seperti yang sebelumnya tayang di The Conversation:
Kewajiban penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup swasta seperti Google, Facebook, dan Twitter untuk mendaftarkan diri ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan adanya represi kebebasan berekspresi dan menghambat pertumbuhan usaha sektor digital di Indonesia.
Pemerintah mengklaim bahwa aturan ini bertujuan untuk melindungi hak konsumen sekaligus meningkatkan pendapatan pajak negara. Per tanggal 29 Juli 2022, delapan PSE asing – termasuk perusahaan keuangan digital Paypal dan platform game Steam – berujung mengalami pemblokiran karena tidak melakukan pendaftaran.
Terlepas dari animo masyarakat yang mengecam kebijakan ini, kami mencoba memberi perspektif lain mengapa peraturan ini penting untuk dapat melindungi pengguna dan memaksimalkan penghasilan pajak.
Baca Juga: Epic Games Masih Diblokir, Steam dan Origin Sudah Bisa Diakses kembali
Tapi tentu saja dengan catatan bahwa pemerintah perlu terbuka untuk menerima masukan dan kritik dari masyarakat terkait potensi penyalahgunaan wewenang dan privasi.
Benarkah registrasi PSE dapat membantu perbaikan perlindungan konsumen layanan digital?
Dengan melakukan registrasi, Kemkominfo dapat menegur PSE dan menghentikan akses bagi mereka yang melakukan praktik bisnis yang merugikan pengguna, baik sementara maupun permanen.
Registrasi PSE saja sebetulnya tidak cukup untuk memberikan perlindungan konsumen yang komprehensif.
Namun, tanpa registrasi, pemerintah akan kesulitan melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap PSE bandel yang beroperasi di bawah radar selain melalui laporan dari pengguna yang menjadi korban. Contohnya, kasus investasi melalui platform Binomo yang memakan banyak korban ternyata berbendera asing.
Baca Juga: Jangan Salah! Beda PSE dengan PMSE dan Dampaknya ke Pajak
Registrasi ini penting mengingat terdapat beberapa aspek kerentanan konsumen layanan digital Indonesia terhadap eksploitasi PSE.
Pertama, kerentanan terhadap penggunaan layanan digital yang tidak sehat.
PSE yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pengguna mereka, terutama bisnis online games, seringkali mengeksploitasi pengguna yang rentan terhadap pembelian daring secara impulsif melalui monetisasi agresif hingga memicu kecanduan.
Monetisasi agresif juga kerap terjadi pada PSE yang bergerak pada sektor perdagangan barang dan jasa.
Kedua, kerentanan terhadap pelanggaran privasi dan penyalahgunaan data pribadi konsumen.
Rendahnya pengetahuan konsumen terhadap isu privasi dan mudahnya konsumen dalam memberikan akses terhadap data pribadi, baik melalui media sosial maupun melalui aplikasi gawai, rawan dieksploitasi. Hal ini membuat pengguna terancam phishing atau hacking.
Ketiga, kerentanan terhadap rendahnya literasi keuangan konsumen Indonesia.
Terdapat potensi risiko penipuan dan eksploitasi finansial oleh PSE yang menjanjikan peluang investasi yang tidak masuk akal atau menawarkan pinjaman dengan syarat-syarat yang menjebak.
Kurangnya pemahaman konsumen terhadap instrumen keuangan digital seperti mata uang kripto dan non-fungible token (NFT) juga berisiko membawa kerugian besar bagi konsumen.
Benarkah registrasi PSE membantu implementasi pajak bagi pelaku usaha digital?
Pemajakan terkait pelaku usaha digital memiliki tantangan tersendiri, baik di Indonesia maupun di negara lain. Salah satu tantangan tersebut adalah identifikasi pihak-pihak yang melakukan transaksi dan transaksi itu sendiri – karena dilakukan secara virtual tanpa melibatkan toko fisik dan barang berwujud.
Sebagaimana tercantum di dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 tahun 2020, PSE domestik wajib menyampaikan identitas pemilik sistem elektronik, website yang dipergunakan, dan informasi mengenai model bisnis.
Hal ini akan membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan bahwa seluruh PSE domestik terdaftar sebagai wajib paja dan mendalami kegiatan usaha wajib pajak.
Selain itu, DJP juga dapat memperoleh akses sistem dan/atau data elektronik PSE untuk memastikan jumlah transaksi yang dilaporkan, sekaligus mengidentifikasi pihak-pihak lain yang terkait dengan PSE.
Ketentuan pendaftaran juga berlaku untuk PSE asing. Dengan ketentuan ini, DJP dapat mengumpulkan informasi terkait jumlah pelanggan dan nilai transaksi PSE asing yang diperoleh dari Indonesia.
Saat ini, DJP telah menerapkan ketentuan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atas produk dan layanan digital luar negeri yang dijual kepada konsumen Indonesia. Pemungutan PPN dari entitas asing tersebut diharapkan dapat menciptakan kesetaraan berusaha antara pelaku usaha asing dan lokal. Tanpa adanya hal ini, para pelaku usaha tersebut memiliki keunggulan kompetitif dengan menawarkan harga lebih murah tanpa dikenai PPN.
Berdasarkan siaran pers DJP, terdapat 87 pelaku usaha PMSE asing yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN, dengan total setoran ke kas negara sebesar hampir Rp 4 Triliun selama tahun 2020 dan 2021.
Kewajiban memberikan informasi jumlah pelanggan dan nilai transaksi PSE asing juga akan memudahkan DJP dalam mendeteksi kehadiran digital PSE asing di Indonesia.
Namun, adanya kehadiran digital tidak serta merta membuat para PSE asing membayar pajak penghasilan atas laba dari penjualan yang bersumber dari Indonesia.
Dengan ketentuan yang berlaku saat ini, pemajakan dilakukan terhadap pelaku usaha digital asing berdasarkan keberadaan fisik di Indonesia.
Akan tetapi, pelaku usaha digital asing memiliki fleksibilitas untuk melakukan penjualan di Indonesia walau dengan keberadaan fisik yang minim. Mereka melakukan penjualan secara daring dan menerima pembayaran di luar negeri, sehingga laba mereka diakui di negara-negara yang tarif pajak penghasilannya lebih rendah dari Indonesia. Akibatnya, basis penerimaan pajak domestik tergerus.
Erosi pajak juga dirasakan oleh berbagai negara dengan pasar produk digital yang besar.
Untuk mengatasi permasalahan ini, negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 telah menyepakati skema alokasi laba PSE asing bagi pasar produk digital berdasarkan nilai penjualan. Namun, skema alokasi laba tersebut hanya berlaku untuk PSE asing dengan skala besar. Sementara itu, PSE asing dengan skala menengah dan kecil masih belum tercakup di dalam kesepakatan tersebut.
Data mengenai transaksi PSE asing di Indonesia akan membantu DJP dalam mengetahui potensi pajak penghasilan yang seharusnya dibayarkan oleh seluruh PSE asing – termasuk oleh PSE skala kecil dan menengah – dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tidak tercakup di dalam skema OECD dan G20.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah
Kebijakan registrasi PSE saja tidak akan menyelesaikan semua permasalahan terkait perlindungan konsumen dan implementasi pajak digital di Indonesia. Namun, ini dapat menjadi langkah awal bagi perbaikan perlindungan konsumen dan implementasi pajak digital.
Untuk itu, Pemerintah perlu konsisten dalam implementasi kebijakan wajib registrasi PSE, termasuk pemberlakuan blokir bagi PSE besar, baik asing maupun domestik, yang bandel tidak melakukan registrasi.
Kebijakan registrasi PSE ini perlu didukung oleh kebijakan-kebijakan lain yang bersinergi dengan kementerian terkait di luar Kemkominfo. Oleh karena itu, dibutuhkan payung hukum untuk implementasi pengawasan dan pengendalian PSE lintas kementerian, serta integrasi dari registrasi PSE ini dengan sistem informasi kementerian.
Selain itu, pemerintah perlu menjawab kekhawatiran masyarakat terkait penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran privasi yang muncul akibat kewajiban registrasi PSE, seperti persoalan mengenai moderasi konten yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi masyarakat.
Terkait hal ini, peraturan yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari eksploitasi oleh PSE lingkup privat dapat dikembangkan juga untuk melindungi konsumen dari PSE lingkup publik, seperti berbagai kementerian dan instansi yang juga menangani data pribadi pengguna. Kemkominfo dan kementerian terkait sebaiknya memperhatikan tata kelola pemanfaatan data elektronik yang diperoleh, terutama dalam menjaga kerahasiaan data dan memastikan bahwa data dipergunakan sesuai dengan kepentingan pengawasan sebagaimana disebutkan dalam permintaan data.
Peran serta masyarakat dalam implementasi pendaftaran PSE ini juga cukup penting. Masyarakat diharapkan aktif menyampaikan pengaduan/informasi terkait PSE yang tidak melakukan kewajiban pendaftaran atau melakukan pelanggaran hukum.
Kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah juga sangat penting untuk membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat melalui tata kelola yang transparan dan inklusif.
Sebagai contoh, masukan masyarakat terkait klasifikasi permainan judi online perlu menjadi pertimbangan sehingga kebijakan ini tidak dilihat sebagai keputusan yang diterapkan sepihak.