Suara.com - Dunia tengah memasuki babak akhir krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19. Namun, persoalan baru telah mengintai: kenaikan harga minyak bumi yang sempat memuncak pada Maret silam dan diperkirakan akan terus tinggi.
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak berefek domino karena dapat membengkakkan subsidi bahan bakar minyak. Demi menjaga kesehatan anggaran negara, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan nilai oktan 92 (Pertamax) pada April 2022 lalu dari Rp 9 ribu ke Rp 12.500 per liter. Pemerintah juga merencanakan hal serupa bagi BBM bersubsidi sehingga berpotensi mengganggu daya beli masyarakat.
Upaya pemerintah merespons kenaikan minyak semestinya bisa melampaui perkara harga dan anggaran. Persoalan ini seharusnya menjadi peluang untuk memperbaiki kualitas udara, menggenjot rencana pembangunan berkelanjutan, sekaligus memperbaiki kehidupan warga di kawasan perkotaan untuk jangka panjang.
Tak dimulai dari nol
Baca Juga: Presiden Jokowi: Subsidi BBM Besar Sekali, Bisa Dipakai untuk Membangun IKN Nusanntara
Guna mengurangi ketergantungan terhadap BBM, pemerintah seharusnya menggenjot pembangunan infrastruktur transportasi umum di perkotaan untuk menyediakan alternatif bagi kebutuhan mobilitas warga.
Langkah ini tak dimulai dari nol karena beberapa kota sudah memiliki layanan angkutan umum yang mumpuni. Misalnya, sekitar 96% warga Jakarta telah terjangkau layanan angkutan umum yang andal. Palembang telah memiliki kereta ringan atau light rail transit. Solo telah memiliki angkot yang andal dan dilengkapi dengan pendingin udara. Belum lagi layanan bus yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan seperti di Makassar, Sulawesi Selatan; Bandung, Jawa Barat; dan kota-kota besar lainnya
Menilik tipologi perkotaan di Indonesia, moda angkutan umum yang berbentuk angkot/minibus sepertinya lebih cocok untuk menjangkau warga yang tinggal di kawasan permukiman padat dengan akses jalan sempit. Moda ini bisa menjadi pelengkap layanan bus besar di jalan utama perkotaan.
Untuk meningkatkan jangkauan angkutan umum, pemerintah daerah dapat memformalkan layanan angkot dengan cara membeli layanan (buy the services) seperti yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan. Melalui cara ini, pemerintah membayar sejumlah uang kepada operator transportasi berbasiskan nilai perjalanan per kilometer. Metode ini lebih mudah diterapkan dan bisa diterima pelaku usaha angkutan umum.
Skema pembelian layanan juga meningkatkan keandalan angkot, karena tidak ada lagi kekhawatiran bahwa angkot akan ngetem, kebut-kebutan berebut penumpang, dan berhenti sembarangan. Selain itu, ketersediaan informasi mengenai kedatangan angkot serta informasi kesatuan rute dari awal hingga akhir dapat menambah kepuasan penumpang.
Baca Juga: BBM Solar Langka, Nelayan Pasuruan Tak Bisa Melaut
Peningkatan jangkauan layanan angkutan umum yang andal serta berstandar bisa meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum dan mengurangi kebutuhan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Harapannya, kebutuhan subsidi BBM dapat berkurang. Dukungan dari kepala daerah dan DPRD juga dibutuhkan agar layanan angkutan umum yang andal ini bisa mendapatkan subsidi yang berkelanjutan.
Perubahan paradigma
Upaya pembangunan transportasi umum juga harus dibarengi dengan perubahan paradigma tata ruang untuk jangka panjang.
Sebagian besar pembangunan kota-kota di Indonesia masih berorientasi ke kendaraan bermotor pribadi. Misalnya di Jakarta dan kota sekitarnya. Perumahan tapak dibangun di pinggir kota, sehingga para pekerja terpicu menggunakan mobil ataupun sepeda motor pribadinya menuju tempat mereka bekerja.
Pemerintah dapat melakukan perubahan paradigma yang bersifat jangka panjang demi menunjang mobilitas perkotaan yang bertumpu pada transportasi umum serta transportasi aktif (berjalan kaki ataupun bersepeda). Ini juga termasuk mengarusutamakan pembangunan pusat kota yang padat dan bertumbuh ke atas (memiliki bangunan dua lantai atau lebih) sehingga jarak perjalanan warga untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadinya menjadi lebih sedikit.
Dengan demikian, warga dapat mengurangi kebutuhan atas penggunaan kendaraan bermotor pribadi dalam bermobilitas.
Pemerintah dapat belajar dari kota Kopenhagen, Denmark. Krisis minyak tahun 1973 mengubah kiblat perencanaan pembangunan dan mobilitas kota dari berorientasi ke kendaraan bermotor pribadi menjadi ke arah sepeda dan transportasi umum. Perubahan kiblat ini berdampak pada tata ruang dan prioritas pembangunan. Kopenhagen memperluas pedestrian yang masif di jalan utama kota yang terlarang bagi kendaraan bermotor.
Otoritas setempat juga membangun infrastruktur yang layak bagi pesepeda. Didukung oleh tipologi kota Kopenhagen yang padat dan datar, perubahan yang dilakukan Kopenhagen berhasil meningkatkan jumlah pesepeda secara signifikan.
Dampak besar perubahan tersebut baru terasa dua dekade berikutnya. Kopenhagen selalu masuk ke dalam jajaran atas peringkat kota yang paling layak huni (livable) di dunia.
Sebagai dampak dari pandemi, banyak pula kota sedang merencanakan kota 15 menit. Dalam konsep ini, warga kota diharapkan dapat menjangkau tempat kerja, tempat tinggal, ataupun berbelanja dengan waktu 15 menit berjalan kaki ataupun bersepeda. Tujuannya untuk memangkas ketergantungan warga terhadap transportasi pribadi.
Konsep ini dipopulerkan oleh Wali Kota Paris Anne Hidalgo dalam kampanye pemilihan walikota Paris tahun 2020.
Di Indonesia, mobilitas warga dengan bersepeda juga tak bisa diabaikan. Pada awal pandemi lalu, terjadi fenomena bike boom oleh warga yang sadar akan pentingnya bergerak aktif dan berolahraga. Sebagian kecil kota-kota di Indonesia memanfaatkannya dengan membangun infrastruktur bersepeda dan menerapkan kebijakan pro-pesepeda.
Kebijakan publik yang pro-angkutan umum dan pesepeda harus dilanjutkan, seiring dengan perencanaan hunian yang terjangkau di kota-kota besar. Selain demi mengurangi ketergantungan warga perkotaan terhadap penggunaan BBM, pengurangan mobilitas kendaraan pribadi juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca di kawasan urban.