Salah satu ide muncul dari Al-Haramain Watch, lembaga pemantau haji global, dengan membentuk semacam Komite Bersama Haji berisi dari negara-negara muslim pengirim jemaah haji. Negara-negara ini dapat memilih “komite tinggi” untuk yang bertugas untuk membuat kebijakan yang adil terkait penyelenggaraan haji. Dalam rangka menjaga transparansi dan akuntabilitas, komite ini tunduk dan diawasi semua negara anggota.
Adapun, pemerintah Arab Saudi harus bersikap netral dan menjalankan apa yang telah menjadi keputusan komisi bersama tersebut, serta dapat benar-benar berperan sebagai “pelayan umat muslim”, yang bertugas melayani para tamu agung untuk beribadah di Tanah Suci.
Tentu saja hal ini akan berpotensi mendapatkan penolakan dari Pemerintah Arab Saudi, terutama terkait isu kedaulatan negara. Untuk itu, diperlukan lobi dan kemampuan diplomasi, serta memastikan bahwa keberadaan komite bersama tersebut tetap menghormati yurudiksi ekslusif Pemerintah Arab Saudi.
Indonesia memiliki kekuatan politik untuk melakukan inisiasi ini.
Indonesia punya sejarah panjang dan sentral dalam mencetuskan Gerakan Non-Blok (GNB), yaitu gerakan bersama negara-negara yang tidak memihak Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) pada masa Perang Dingin.
Indonesia juga merupakan salah satu pendiri Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 untuk membentuk ikatan antara negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika. GNB dan KAA pada hakikatnya bertujuan agar negara anggotanya dapat memperjuangkan kedaulatan, integritas, nasib, dan kemerdekaannya tanpa campur tangan negara lain.
Penguatan dari dalam
Pada saat yang sama, Indonesia juga perlu melakukan penguatan lembaga penyelenggara hajinya dari dalam.
Saat ini, Pemerintah Indonesia perlu mulai menyusun isu strategis rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah pembangunan bidang agama, termasuk penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Mengingat penyelenggaraan ibadah haji dan umrah terkait erat dengan pengaruh eksternal dari Arab Saudi, maka perlu juga melakukan berbagai mitigasi risiko serta alternatif antisipasi kebijakan yang memungkinkan dalam rangka mengurangi dampak negatif dan pada saat yang sama meningkatkan kualitas pelayanan jemaah haji dan umrah.
Baca Juga: Berapa Biaya Haji 2022? Ada Kenaikan, Segini Besarannya
Indonesia harus melakukan komunikasi dan tata kelola kelembagaan unit kerja yang mengurusi haji dan umrah – baik itu secara organisasi, sumber daya manusia, pelayanan, maupun kemitraan. Untuk itu, paradigma para penyelenggara ibadah haji dan umrah di masa depan adalah para pemimpin masyarakat yang memiliki berjiwa melayani, sehingga apa yang dilakukan diukur dari tingkat kebermanfaatannya bagi kemaslahatan umat.