Suara.com - Setyo Hari Priyono dari Bappenas dalam analisisnya mengatakan pengelolaan ibadah haji harus melibatkan lembaga internasional agar lebih murah, leluasa, dan bebas dari kepentingan politik. Indonesia perlu mengusulkan pembentukan lembaga ini. Berikut ulasan Setyo seperti disitat dari The Conversation:
Ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang wajib dilakukan bagi umat muslim yang mampu menjalankan, karena tidak hanya membutuhkan kemampuan finansial, namun juga fisik yang memadai. Akan tetapi, dengan manajemen haji yang sepenuhnya berada di bawah Pemerintah Arab Saudi, gerakan umat muslim untuk melakukan ibadah tersebut dibatasi oleh aturan biaya dan kuota yang rawan dipolitisasi.
Dengan penyelenggaraan berada dalam kendali penuh Arab Saudi, keinginan masyarakat muslim dunia untuk melakukan perjalanan ibadah ke kota suci Mekah dan Madinah bisa terganjal keinginan Arab Saudi untuk menuai pemasukan lebih besar dari sektor haji dan umrah, dalam upaya melakukan diversifikasi pendapatan dari sektor selain minyak dan gas.
Sebagai contoh, Arab Saudi menaikkan pajak pertambahan nilai dari 5% menjadi 15%. Kenaikan pajak ini berpotensi memberatkan jemaah, karena ongkos haji akan menjadi lebih tinggi. Pada saat yang sama, mereka harus membeli makan dan minum, perlengkapan ibadah, termasuk cinderamata yang harganya menjadi lebih mahal. Kebijakan peningkatan biaya haji yang ditetapkan pada awal bulan Juni 2022 juga menyulitkan para jemaah haji.
Baca Juga: Berapa Biaya Haji 2022? Ada Kenaikan, Segini Besarannya
Dalam menyikapi hal ini, Indonesia – sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dan memiliki rekam jejak diplomasi yang kuat – dapat mengambil peran dengan mengusulkan dan mewujudkan pembentukan lembaga haji yang menjadi wadah diskusi dan pemantauan demi penyelenggaraan haji yang adil bagi umat.
Indonesia punya potensi inisiasi lembaga kebijakan haji internasional
Pemerintah Indonesia – sebagai salah satu negara pengirim jemaah haji terbesar – perlu mengambil peran diplomasi dengan melibatkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), untuk menginternasionalisasi kebijakan haji.
Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk semacam lembaga perwakilan bersama yang membahas dan memutuskan kebijakan terkait haji dan umrah agar lebih adil dan transparan. Melalui lembaga perwakilan, negara-negara pengirim jemaah haji dapat memiliki hak yang sejajar dengan Pemerintah Arab Saudi dalam rangka berdialog untuk menentukan kebijakan terkait haji dan umrah. Sehingga, keputusan yang didapatkan dapat memenuhi kemaslahatan bersama.
Pembentukan lembaga perwakilan ini merupakan upaya memposisikan kembali bahwa Kota Suci Mekkah dan Madinah, walaupun berada di wilayah Arab Saudi, merupakan milik umat Islam di seluruh dunia. Artinya, seluruh umat Islam memiliki hak yang sama untuk terlibat melalui perwakilan negara-negara pengirim jemaah haji.
Baca Juga: Canggih, Pemerintah Arab Kerahkan Pasukan Robot untuk Layani Minum Jemaah Haji
Ide menginternasionalisasi haji dengan membentuk komite bersama sudah didengungkan oleh para cendekiawan maupun lembaga internasional pemerhati haji.
Salah satu ide muncul dari Al-Haramain Watch, lembaga pemantau haji global, dengan membentuk semacam Komite Bersama Haji berisi dari negara-negara muslim pengirim jemaah haji. Negara-negara ini dapat memilih “komite tinggi” untuk yang bertugas untuk membuat kebijakan yang adil terkait penyelenggaraan haji. Dalam rangka menjaga transparansi dan akuntabilitas, komite ini tunduk dan diawasi semua negara anggota.
Adapun, pemerintah Arab Saudi harus bersikap netral dan menjalankan apa yang telah menjadi keputusan komisi bersama tersebut, serta dapat benar-benar berperan sebagai “pelayan umat muslim”, yang bertugas melayani para tamu agung untuk beribadah di Tanah Suci.
Tentu saja hal ini akan berpotensi mendapatkan penolakan dari Pemerintah Arab Saudi, terutama terkait isu kedaulatan negara. Untuk itu, diperlukan lobi dan kemampuan diplomasi, serta memastikan bahwa keberadaan komite bersama tersebut tetap menghormati yurudiksi ekslusif Pemerintah Arab Saudi.
Indonesia memiliki kekuatan politik untuk melakukan inisiasi ini.
Indonesia punya sejarah panjang dan sentral dalam mencetuskan Gerakan Non-Blok (GNB), yaitu gerakan bersama negara-negara yang tidak memihak Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) pada masa Perang Dingin.
Indonesia juga merupakan salah satu pendiri Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 untuk membentuk ikatan antara negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika. GNB dan KAA pada hakikatnya bertujuan agar negara anggotanya dapat memperjuangkan kedaulatan, integritas, nasib, dan kemerdekaannya tanpa campur tangan negara lain.
Penguatan dari dalam
Pada saat yang sama, Indonesia juga perlu melakukan penguatan lembaga penyelenggara hajinya dari dalam.
Saat ini, Pemerintah Indonesia perlu mulai menyusun isu strategis rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah pembangunan bidang agama, termasuk penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Mengingat penyelenggaraan ibadah haji dan umrah terkait erat dengan pengaruh eksternal dari Arab Saudi, maka perlu juga melakukan berbagai mitigasi risiko serta alternatif antisipasi kebijakan yang memungkinkan dalam rangka mengurangi dampak negatif dan pada saat yang sama meningkatkan kualitas pelayanan jemaah haji dan umrah.
Indonesia harus melakukan komunikasi dan tata kelola kelembagaan unit kerja yang mengurusi haji dan umrah – baik itu secara organisasi, sumber daya manusia, pelayanan, maupun kemitraan. Untuk itu, paradigma para penyelenggara ibadah haji dan umrah di masa depan adalah para pemimpin masyarakat yang memiliki berjiwa melayani, sehingga apa yang dilakukan diukur dari tingkat kebermanfaatannya bagi kemaslahatan umat.