Media sosial pada akhirnya membuat mereka menarik dirinya dari realitas untuk kemudian masuk ke dalam ruang virtual, di mana ego dan identitas dibangun dalam wujud artifisial. Imbasnya, pengingkaran akan setiap batas, hambatan, aturan, dan ideologi tidak dapat dihindari.
Manusia seakan dapat mengembara secara bebas di dalam dunia fantasi, halusinasi, dan ilusinya tanpa perlu ada pengendalian sosial, moral, spiritual, dan etika.
Maka tidak heran jika media sosial sangat lekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran etika, moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Hal-hal yang secara etika dapat merugikan orang lain, seperti menyebarkan ujaran kebencian, bullying, menyebarkan konten pornografi tanpa izin atau consent, menyebarkan berita palsu, melakukan penipuan, dan lain sebagainya sering dilakukan saat berselancar di internet.
Pentingnya netika
Netika (netiquette) atau etika di ruang siber (cyber-ethic) merupakan aturan dan tata cara penggunaan internet sebagai alat komunikasi atau pertukaran data antar-sekelompok orang dalam sistem yang tersedia internet.
Sama seperti aturan etika di dunia nyata, netika juga mendorong para pengguna untuk taat pada aturan etis dan moral – meskipun tidak tertulis – untuk menciptakan ruang bersama yang nyaman dan aman.
Oleh karena itu, netika menjadi hal yang sangat penting untuk benar-benar diterapkan karena proses komunikasi yang terjadi di media siber mereplikasi bentuk komunikasi di dunia nyata.
Sayangnya, fenomena pelanggaran etika dan moral di dunia maya ini tidak selalu dipahami dan diperhatikan dengan baik oleh institusi utama yang memberikan pendidikan etika, yakni sekolah, institusi agama, dan keluarga.
Baca Juga: Lokasi Makam Eril di Sebelah Masjid Al Mumtadz, Didesain Ridwan Kamil
Itulah mengapa prinsip netika cenderung terabaikan, khususnya oleh generasi milenial. Mereka merasa ingin bebas dan menjadikan ruang siber sebagai ruang privasi – alih-alih ruang publik.