Suara.com - Gaya hidup masyarakat kian lekat dengan perangkat digital dan akses virtual.
Pandemi Covid-19 yang membatasi interaksi langsung di masyarakat, menambah tinggi intensitas kegiatan virtual dengan menggunakan gawai.
Praktik industri dan masyarakat yang tinggi, berdampak pada peningkatan timbulan limbah elektronik (e-waste) dan terbuangnya sumber daya elektronik tanpa ada kesempatan untuk diolah kembali.
Pada 2021, masyarakat dunia diperkirakan telah membuang e-waste sebesar 57,4 juta ton, yang melebihi berat total dari Tembok Raksasa China.
Baca Juga: AFPI Gandeng TekenAja! untuk Penyediaan Tanda Tangan Elektronik
Salah satu solusi dari pengelolaan e-waste adalah melalui penerapan ekonomi sirkular dengan pengelolaan produk yang baik dan optimalisasi masa pakai produk.
Kedua cara ini dapat meningkatkan penggunaan sumber daya alat elektronik yang lebih efisien dan mengurangi jumlah timbulan e-waste yang berdampak negatif pada lingkungan.
Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma ekonomi dari linear (ambil-pakai-buang) menjadi sirkular yang manfaatnya lebih panjang.
Sepanjang 2021, jumlah timbulan e-waste di Indonesia mencapai 2 juta ton.
Jumlah timbulan ini diproyeksikan akan semakin meningkat dengan semakin pendeknya usia barang elektronik yang akan membuat timbulan e-waste semakin besar di masa depan .
Baca Juga: Kominfo Luncurkan Buku Panduan Mudik, dalam Format Elektronik
Timbulan e-waste dapat menimbulkan masalah berupa paparan racun pada tanah dan air, yang berpotensi membahayakan rantai makanan dan berujung pada gangguan kesehatan manusia.
Bappenas dengan didukung UNDP dan Pemerintah Denmark telah meluncurkan Laporan “Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Ekonomi Sirkular di Indonesia”, menunjukan bahwa sektor Elektronik sebagai salah satu sektor prioritas dalam penerapan ekonomi sirkular.
Penerapan Ekonomi sirkular yang lebih dari sekedar pengelolaan sampah, namun juga mencakup pengelolaan sumber daya alam pada kelima sektor prioritas (Elektronik, Makanan dan Minuman, Tekstil, Konstruksi, dan Retail yang berfokus pada kemasan plastik).
"Semua sektor ini berpotensi meningkatkan PDB pada kisaran Rp 593 triliun hingga Rp 638 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030,” ujar Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto.
Secara khusus di dalam studi tersebut juga diketahui bahwa penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik berpotensi meningkatkan PDB Rp12,2 triliun pada 2030.
Pada aspek lingkungan, penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik diprediksi dapat membantu Indonesia menghindari hampir 0,4 juta ton emisi CO2 dan menghemat 0,6 miliar meter kubik air pada 2030.
Dari sisi sosial, sirkularitas di sektor elektronik juga dapat menghasilkan penghematan rumah tangga tahunan senilai sekitar Rp88.000 atau 0,2 persen dari rata-rata pengeluaran rumah tangga tahunan saat ini.
“Alat elektronik multifungsi dengan daya pakai yang pendek membuat banyak pihak, termasuk kami, perlu memikirkan solusi yang efisien agar e-waste di Indonesia bisa lebih terkendali.
Temuan dari kajian Bappenas, membuat kami percaya bahwa penerapan ekonomi sirkular tidak hanya dapat mengurangi timbulan e-waste, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap aspek ekonomi dan sosial.
Dengan ekonomi sirkular, alur industri elektronik tidak lagi terdiri atas produksi, konsumsi, dan buang, melainkan produksi, konsumsi, dan kelola dengan bijak,” jelas Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif dari Greeneration Foundation.
Greeneration Foundation merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, bermitra dengan Kementerian PPN/BAPPENAS dan UNDP Indonesia.
Lembaga ini didukung oleh Kerajaan Denmark dalam usaha mengkomunikasikan penerapan ekonomi sirkular kepada masyarakat Indonesia.
Prinsip 9R ekonomi sirkular –yang terdiri dari Refuse - Rethink - Reduce - Reuse - Repair - Refurbish - Remanufacture - Repurpose - Recycle – menjadi kunci dalam penggunaan barang elektronik yang lebih berkelanjutan.
Beberapa prinsip 9R yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi atau mengganti penggunaan bahan dasar alat elektronik berbahaya (refuse).
Contohnya, produsen alat elektronik dapat mengganti refrigeran halokarbon pada pendingin udara dengan refrigeran berbahan hydrocarbon (HC) yang hemat energi.
Konsumen juga dapat memilih alat elektronik yang bisa digunakan bersama untuk mengurangi konsumsi alat elektronik (rethink).
Barang elektronik yang sudah tidak terpakai tetapi masih berfungsi dapat diberikan pada kerabat atau disumbangkan agar tidak terbuang dan tetap bisa digunakan (reuse).
Tahapan siklus 9R selanjutnya, alat elektronik yang rusak dapat dibawa ke tempat reparasi (repair) untuk memperpanjang masa pakainya atau ke tempat reparasi resmi yang menyediakan layanan peremajaan alat elektronik (refurbish).
Selain itu, penggunaan komponen alat elektronik lama untuk memperbaiki alat elektronik yang masih relatif baru (remanufacture) dan membawa alat elektronik ke fasilitas daur ulang (recycle) juga menjadi upaya untuk menerapkan ekonomi sirkular.
Penerapan prinsip ekonomi sirkular 9R di masyarakat dapat menjadi langkah awal transisi ekonomi sirkular di Indonesia sebagai upaya meningkatkan efisiensi sumber daya dan pengelolaan e-waste.
Pada akhirnya, upaya tersebut tidak hanya akan berkontribusi terhadap lingkungan, tetapi juga pada pembangunan ekonomi negara yang lebih hijau dan berkelanjutan.