Suara.com - Publik sempat dihebohkan dengan sosok Rara, seorang pawang hujan yang jasanya digunakan untuk menghentikan hujan deras pada saat perhelatan MotoGP di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat, Maret lalu. Ritual yang dilakukan Rara mendapat banyak komentar negatif dari masyarakat.
Banyak yang membenturkan aksi tersebut dengan keyakinan beragama. Mereka mempertentangkan, mendiskreditkan, melecehkan, bahkan menyatakan bahwa apa yang dilakukan Rara adalah sesuatu yang haram.
Komentar-komentar negatif terhadap Rara sebagian besar berasal dari kelompok sosial dan keagamaan mayoritas yang acapkali memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam mengembangkan narasi yang menegasikan pengetahuan tradisional.
Padahal, keberadaan pawang hujan merupakan suatu bentuk eksistensi pengetahuan tradisional masyarakat, atau pengetahuan yang dibangun dari generasi ke generasi oleh sebuah kelompok masyarakat yang hidupnya dekat dengan alam, seperti masyarakat adat.
Baca Juga: Setelah Pawang Hujan MotoGP, Kini Mbak Rara Ikut Jadi Tim Jalan Tol Japek II, Layani Doa Kawal Cuaca
Pengetahuan adat yang ditinggalkan
Indonesia adalah bangsa majemuk yang memiliki beragam suku dan etnis dengan beragam tradisi dan budaya.
Selain pawang hujan, pernah dikenal istilah dukun atau orang pintar yang mempraktikkan pengobatan tradisional atau mekanisme pengobatan berdasarkan kepercayaan tertentu, dengan menggunakan mantra dan jampi-jampi. Ada pula tradisi penggunaan ramuan obat dari tumbuhan hutan, pengelolaan lahan dengan pengetahuan adat, hingga pengetahuan tradisional tentang mitigasi bencana alam.
Namun, seiring adanya modernisasi di berbagai lini kehidupan, eksistensi pengetahuan tradisional perlahan mulai terkikis, termasuk oleh narasi agama modern. Ini bisa dilihat dalam polemik pawang hujan tadi.
Contohnya, penceramah kondang Yahya Zainul Ma'arif Jamzuri, atau yang lebih akrab disapa Buya Yahya, mengemukakan bahwa dalam pandangan Islam, percaya pada pawang hujan adalah haram hukumnya.
Baca Juga: Pendeta Gilbert Kecewa Pawang Hujan Disebut Kearifan Lokal: Kalau Gitu Rumah Sakit Tutup Balik Dukun
Contoh lain, Pendeta Gilbert Lumoindong memberikan pemahaman bahwa dalam pandangan Kristen, pawang hujan adalah roh kegelapan, roh setan.
Narasi-narasi segelintir tokoh agama telah memberikan citra negatif terhadap pengetahuan tradisional yang sebenarnya telah dilestarikan turun-temurun. Inilah yang menyebabkan hampir punahnya tradisi lokal.
Tradisi pawang hujan sendiri sudah dilakukan secara turun temurun dan dikenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia, dengan penamaan dan ritual yang bervariasi.
Masyarakat Pandeglang, misalnya, juga akrab dengan istilah “nyarang hujan”, berupa ritual yang dilakukan pawang hujan ketika menyelenggarakan acara pernikahan, khitanan, dan acara-acara lain.
Di masyarakat Betawi, pawang hujan dikenal dengan sebutan dukun pangkeng, dan selalu ada dalam setiap acara hajatan.
Pada masyarakat Karo di Sumatera Utara, dikenal tradisi meminta hujan dengan ritual Tari Gundala-Gundala. Tradisi serupa juga dapat ditemukan di Karangasem, Bali yang dikenal dengan nama Gebug Ende, yaitu tarian yang dilakukan dengan memukul rotan untuk mendatangkan hujan.
Tradisi-tradisi tersebut merupakan bagian dari hak tradisional dan identitas masyarakat asli (adat) yang seharusnya bisa diakui sebagai hak konstitusional.
Ke depannya, perlu ada tindakan lebih tegas terkait pengakuan dan perlindungan pengetahuan tradisional yang dalam penerapannya harus melibatkan konsultasi dengan kelompok masyarakat adat.
Hal ini untuk memastikan bahwa ketentuan dalam perlindungan pengetahuan tradisional tidak justru mengganggu hak-hak mereka yang telah ada secara turun temurun.
Tantangan melestarikan pengetahuan adat
Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengatur bahwa pengetahuan tradisional menjadi salah satu objek pemajuan budaya. Tetapi, implementasi UU ini masih belum maksimal.
Meski sudah ada payung hukum yang mengatur perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat, namun wilayah kelola adat dan ruang hidup mereka masih dirampas, digusur, dan dihilangkan paksa. Ruang ekspresi mereka makin hilang, sehingga kemudian juga menggerus eksistensi pengetahuan tradisional.
Salah satu contoh kasusnya adalah masyarakat adat Dayak Tamambaloh di Kalimantan Barat.
Studi yang dilakukan menjabarkan tentang ekologi tradisional masyarakat adat Dayak Tamambaloh di Kapuas Hulu yang memiliki hubungan langsung terhadap keberlangsungan hidup mereka. Ruang ekspresi mereka atas pengetahuan tradisional adalah hutan. Bagi orang Dayak, hutan merupakan sumber penghidupan dan kehidupan.
Sayangnya, semakin berkurangnya hutan, yang beralih fungsi menjadi perkebunan tanaman ekstraktif, perlahan ikut menghancurkan pengetahuan tradisional mereka.
Kenyataan lain yang kerap terjadi yaitu perampasan tanah, kriminalisasi masyarakat adat, hingga pengusiran dari tanah yang menjadi wilayah kelola mereka.
Pengakuan hak-hak masyarakat adat yang masih dilakukan setengah hati ini, membuat keberadaan pengetahuan tradisional juga tak jarang terabaikan.
Sudah saatnya ada kebijakan yang tegas untuk melindungi masyarakat adat beserta wilayah kelola mereka. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, semestinya segera dipercepat pembahasan dan pengesahannya menjadi Undang-Undang.
Tantangan lain yang dihadapi saat ini yaitu adanya kecenderungan untuk memisahkan antara agama dan kebudayaan, misalnya pemahaman bahwa agama bersifat wahyu dari Tuhan, sementara kebudayaan adalah hasil kreasi manusia. Pemahaman yang keliru terhadap agama dan kebudayan ini memberikan ruang lingkup pemahaman yang sempit terhadap keduanya.
Terlebih lagi, kuatnya pengaruh segelintir pemuka agama menjadi tantangan dalam mempertahankan adat dan tradisi lokal. Mereka seringkali membenturkan agama dengan kepercayaan adat dan tradisi lokal. Padahal agama dan tradisi adat dapat menjadi integrasi yang mencerminkan ke-Indonesiaan.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.