Suara.com - Matahari dilaporkan meledakkan suar besar kelas X ke Bumi pada 19 - 20 April 2022, yang menyebabkan pemadaman radio di Australia, Pasifik Barat, dan Asia Timur.
Citra yang dibagikan oleh Solar Dynamics Observatory NASA, menunjukkan kelompok bintik Matahari besar yang disebut AR2993-94 siap untuk berotasi ke jarak tembak Bumi.
Para ahli memperkirakan bahwa ledakan kemungkinan akan berlanjut.
Tapi untuk saat ini, suar kelas X yang menarik perhatian banyak orang.
Baca Juga: Robot Penjelajah NASA Rekam Penampakan Gerhana Matahari di Mars
Dihasilkan dari bintik matahari AR2992, para ahli mengatakan bahwa bintik tersebut berada di tepi ekstrem Matahari selama letusan.
Namun, ada kemungkinan bahwa coronal mass ejections (CME) dari partikel bermuatan akan mengikuti dari situs yang sama.
Jika CME terjadi, aurora mungkin akan segera muncul, meskipun para ilmuwan belum yakin apakah Bumi akan berada di jalur plasma.
Suar matahari memiliki beberapa tingkatan. Berdasarkan kategori, kelas A dalah ledakan terlemah dan kelas X adalah ledakan yang terkuat.
Dengan setiap kategori, ledakan diukur berdasarkan ukuran, dengan angka yang lebih kecil mewakili ledakan yang lebih kecil di ukuran tersebut.
Baca Juga: Bintik Matahari Mati Lepaskan Bola Plasma ke Bumi
Menurut SpaceWeather, ledakan dari suar Matahari pada Selasa dan Rabu mendapatkan peringkat X2.2.
Berbeda dengan suar yang merupakan ledakan singkat, CME dapat menembakkan gumpalan partikel bermuatan.
Jika CME diarahkan ke Bumi, hal itu dapat menyebabkan aurora. Beberapa bukti tidak langsung menunjukkan bahwa hal itu sudah terjadi.
"Tak lama setelah suar, Angkatan Udara Amerika Serikat melaporkan ledakan radio surya Tipe II. Ledakan radio tipe II disebabkan oleh gelombang kejut di tepi utama CME," jelas SpaceWeather, dikutip dari Live Science, Kamis (21/4/2022).
Pusat Prediksi Cuaca Luar Angkasa di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mengonfirmasi bahwa suar itu terjadi pada pukul 11:57 malam EDT dan disertai dengan ledakan Tipe II.
Para ilmuwan akan menggunakan data dari Solar and Heliospheric Observatory (SOHO), sebuah pesawat ruang angkasa yang dioperasikan oleh NASA dan mitranya di Eropa, untuk memantau CME apa pun.
Namun, para pejabat NOAA pesimis dengan kemungkinan terjadinya aurora, mengingat bahwa bintik matahari asalnya berada di tepi ekstrim Matahari.
Hingga saat ini, NASA belum memberikan perkiraan terperinci di situs web untuk pembaruan mengenai hal itu.
"Suar dan letusan Matahari dapat berdampak pada komunikasi radio, jaringan listrik, sinyal navigasi, dan menimbulkan risiko bagi pesawat ruang angkasa dan astronot," tulis pejabat NASA dalam sebuah pernyataan baru-baru ini.
Matahari dilaporkan berada dalam siklus 11 tahun terbaru aktivitas Matahari, yang dimulai pada 2019 dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2025.
Di awal siklus, para ilmuwan memperkirakan bahwa secara keseluruhan siklus akan lebih tenang dari biasanya karena bintik Matahari lebih sedikit.