Suara.com - Studi Idham Effendi, mahasiswa di University of Sheffield dan Dewa Ayu Putu Eva Wishanti, pengajar pada Universitas Brawijaya menemukan bahwa selama pandemi ketergantungan pada air tanah semakin tinggi. Berikut jabaran mereka:
Penduduk Indonesia amat tergantung dengan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Air tanah dianggap mempunyai banyak keunggulan, misalnya kualitas yang baik dan mudah diakses bahkan langsung dari halaman rumah mereka.
Data ini sesuai dengan survei Badan Pusat Statistik tahun 2016 yang menyatakan sumber-sumber air dari dalam tanah mendominasi sumber pasokan air rumah tangga. Di antaranya adalah pompa (15,42%), sumur (27,04%), leding atau saluran langsung (10,66%), serta air minum dalam kemasan – yang mayoritasnya diambil dari air tanah (31,30%). Sementara, persentase air permukaan dan air hujan sangat rendah, masing-masing 1,43% dan 2,40%.
Pandemi pun turut meningkatkan ketergantungan ini. Hasil survei Indonesian Water Institute pada akhir 2020 menemukan penggunaan air masyarakat Indonesia meningkat hingga 3 kali lipat dibandingkan sebelum masa pagebluk. Peningkatan ini berasal dari aktivitas terkait kesehatan pribadi seperti mandi dan mencuci tangan.
Baca Juga: Lindungi Air Tanah Jadi Fokus Peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2022
Meski baik di sisi kesehatan publik, tren ini mengkhawatirkan bagi kelestarian sumber daya air karena dapat memperburuk kondisi air tanah Indonesia. Data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lembaga lainnya menyebutkan cekungan air tanah di berbagai wilayah di tanah air, terutama di pulau Jawa, sudah memasuki masa kritis. Bahkan, di lokasi calon lokasi Ibu Kota Negara (IKN), pakar meragukan ketersediaan air tanahnya.
Tanah amblas
Pengambilan air tanah secara berlebihan bisa membuat cadangan air tanah menyusut. Hal ini ditandai dengan pembentukan kerucut penurunan air tanah di lokasi-lokasi dengan pengambilan air tanah intensif.
Pengerucutan terjadi karena penyedotan air tanah lebih besar ketimbang jumlah air yang terserap ke lapisan aquifer (lapisan tanah yang dapat menyimpan air tanah).
Penyedotan air tanah yang berlebihan juga dapat berdampak pada mengeringnya sungai dan badan air permukaan lain. Sedangkan penyedotan terjadi di wilayah pesisir bakal memicu masuknya air laut ke darat (intrusi air laut) yang memperburuk kualitas air tanah.
Baca Juga: KPK Dorong Kota Yogyakarta Optimalkan Pendapatan dari Pajak Air Tanah
Pengerucutan tersebut kemudian juga bisa berimbas pada penurunan muka tanah (land subsidence). Studi di Amerika Serikat (AS), misalnya, menyatakan bahwa lebih dari 80% kejadian penurunan muka tanah di negara tersebut terkait erat dengan pengambilan air tanah yang tidak terkontrol.
Di Indonesia, data Badan Geologi (Gambar 1 dan 2) menunjukkan muka tanah di kota-kota besar Indonesia menurun karena cekungan air tanah sudah memasuki kondisi kritis bahkan rusak.
Kondisi cekungan yang kritis menggambarkan bahwa muka air tanah sudah berkurang hingga 60% dari kondisi awalnya. Sedangkan cekungan yang rusak berarti penurunan muka air tanah sudah mencapai 80% dan telah terjadi penurunan muka tanah di beberapa titik. Kriteria ini tertera dalam Peraturan Menteri ESDM No. 31 Tahun 2018
Kami pun tengah meneliti dampak pengambilan air tanah terhadap penurunan muka tanah di Pekalongan, Jawa Tengah. Hasil analisis penginderaan jauh yang dilakukan selama 2020-2021 menunjukkan bahwa kecepatan penurunan tanah di Pekalongan dan sekitarnya mencapai 10 cm per tahun. Laju tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Penurunan tertinggi berada di daerah utara yang merupakan daerah tambak atau pertanian. Ada juga beberapa titik penurunan lainnya di kawasan permukiman dan industri.
Selain karena pengambilan air tanah, laju penurunan muka tanah juga dipercepat dengan keberadaan infrastuktur yang terus tumbuh. Selain faktor pemicu lain seperti struktur geologi dan juga kondisi batuan atau tanah alaminya.
Kita mesti mengambil langkah tegas untuk mengendalikan pengambilan air tanah melalui berbagai pengaturan dan kebijakan. Sebab, jika tren penggunaan air tanah yang meningkat sejak sebelum pandemi terus terjadi, maka muka air tanah berisiko menurun lebih cepat lagi, yang dapat memperparah bencana amblesnya tanah.
Kebijakan pengendalian perlu diperkuat
Pemerintah perlu memperkuat pencatatan pengambilan air tanah yang dilakukan masyarakat, mulai dari rumah tangga, program pemerintah, sektor pertanian, hingga pelaku usaha. Saat ini kami menduga jumlah sumur yang tidak tercatat atau yang belum berizin masih jauh lebih banyak daripada sumur berizin atau yang tercatat di pemerintah daerah.
Pencatatan juga mencakup pengambilan air tanah dari sumur yang dibuat dalam rangka pemenuhan air bersih untuk masyarakat. Selama ini, pendataan pengambilan air tanah untuk program pemerintah untuk perusahaan daerah air minum (PDAM) atau program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) juga belum optimal.
Pencatatan ini diperlukan untuk mengantisipasi risiko akibat pengambilan air tanah besar-besaran. Misalnya, cekungan air tanah Ngawi-Ponorogo yang merupakan cekungan yang berada di wilayah pertanian sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan muka air tanah. Penurunan tersebut terindikasi sebagai akibat maraknya pengambilan air tanah untuk pertanian.
Pengaturan konservasi air tanah dalam UU juga perlu diperluas. Undang-undang Sumber Daya Air di Indonesia selama ini juga belum banyak menyentuh pentingnya konservasi air tanah. Sejauh ini pengaturan dalam beleid tersebut lebih banyak bernuansa pemerataan akses air.
Walaupun sudah diatur dalam UU dan peraturan pemerintah, pemberian izin terhadap pengusahaan air tanah kerap menjadi celah untuk mencari keuntungan kelompok dan pribadi, karena kurangnya kapasitas pemantauan terpadu oleh pemerintah. Contohnya, pihak swasta juga sempat menjadi tersangka pelanggaran. Di sisi lain, pemerintah daerah kerap kebingungan karena aturan perizinan pengusahaan air tanah tidak selaras dengan aturan pajak daerah dan retribusi, juga dengan hak guna air.
Penelitian yang tengah kami kerjakan tentang regulasi dan kebijakan sepanjang 2021 (belum dipublikasi) turut menunjukkan kebijakan sumber daya air yang tidak terintegrasi. Masing-masing sektor kelembagaan memiliki regulasinya sendiri tentang pengelolaan air.
Terlebih lagi, Indonesia belum memiliki peta skala besar terkait ketersediaan air tanah..
Kita memerlukan regulasi terpadu yang mampu mendorong solusi teknis pengelolaan air yang berkelanjutan. Harapannya, risiko penurunan muka tanah maupun risiko kekeringan sebagai imbas dari iklim yang berubah dapat diantisipasi sejak dini.
Indonesia dapat mencontoh Tokyo, salah satu kota terpadat di dunia, yang mampu menahan laju penurunan muka air tanah dalam waktu 20 tahun, sekaligus membendung pencemaran air tanah melalui regulasi pemompaan air. Solusi tersebut diimbangi dengan menawarkan peralihan sumber air pada air permukaan seperti sungai, danau, dll; serta mengatur pemakaian air oleh industri.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.