Suara.com - Southeast Asia Freedom of Expression Network atau Safenet mengatakan ada ratusan mahasiwa dan mahasiswi yang menjadi korban ancaman penyebaran konten intim nonkonsensual pada 2021.
Direktur Safenet Damar Juniarto mengatakan bahwa mahasiswa dan mahasiswi berusia 18 - 25 tahun menjdi korban ancaman tersebut. Safenet sendiri telah menerima 201 laporan terkait ancaman tersebut.
Hal ini disampaikan Safenet sebagai bagian dari upayanya meyakinkan Mahkamah Agung untuk menolak uji materi atas Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.
Safenet bersama ICJR, YLBHI, MaPPI FHUI, dan LBH APIK Jakarta- yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tanpak Kekerasan - diketahui akan menyerahkan Amicus Curiae ke MA pada pekan ini, yang isinya mendesak agar uji materi ditolak.
"Kehadiran Permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini bisa menjadi batu pijakan bagi korban untuk mendapatkan keadilan, paling tidak di lingkup perguruan tinggi dan itu yang menjadi alasan mengapa Safenet ikut serta dalam Amiqus Cuarie atau sahabat peradilan bersama teman-teman kualisi disini," kata Damar.
Damar menuturkan dari 201 kasus tersebut, para pelaku penyebaran mendapatkan konten intim dengan berbagai cara. Mulai perekaman secara diam-diam atau memanipulasi emosi korban, agar kemudian mengirimkan konten intim hingga iming-iming dengan uang.
"Tindakan-tindakan seperti ini telah memanfaatkan kerentanan korban dan tindak urung kekerasannya kemudian berlanjut," papar dia.
Pelaku tidak hanya mengirimkan konten intim, tetapi juga berlanjut dengan tindakan-tindakan kekerasan online lainnya, yang dapat mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis, hingga ancaman kriminalisasi .
Damar menyebut tak jarang ancaman kriminalisasi, menyangkut dengan bagaimana korban dilaporkan dengan pasal 27 ayat 1 Undang-undang ITE, tentang penyebaran konten asusila. Namun kata Damar, cukup banyak yang dijerat dengan pasal 27 ayat 3, undang-undang ITE tentang pencemaran nama baik.
Baca Juga: Teganya Ibu Kandung di Kuansing Paksa Anak Layani Nafsu Bejat Ayah Tiri
"Terutama bahwa para pelakunya itu adalah orang yang kemudian menggunakan undang-undang ITE sebagai cara untuk membungkam korban," ungkapnya.
Selain itu, Damar mengatakan pihaknya kerap menemui bahwa korban tidak bisa mengakses proses hukum yang berkeadilan. Karena kata dia, kerangka hukum yang ada belum memadai dan belum bisa bersikap proaktif berpihak pada korban.
"Sehingga korban banyak yang menderita dua kali, sudah menjadi korban dari kekerasan seksual berbasis online, tetapi juga menjadi korban dari sistem hukum yang tidak berpihak," ucap Damar.
Karena itu Safenet menegaskan pentingnya keberadaan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Pasalnya dengan kasus-kasus yang demikian, kata Damar dapat dibayangkan sulitnya para korban untuk mendapatkan keadilan.