Suara.com - Serangan siber dan kebocoran data nyatanya berdampak luas pada berbagai sektor, mulai dari Kesehatan, ekonomi digital hingga pariwisata.
Pada Januari 2022, data enam juta pasien Indonesia diduga bocor setelah penyerang menargetkan sistem komputer pusat Kementerian Kesehatan.
Informasi mulai dari data jaminan sosial, jenis laboratorium dan perawatan medis, serta nama-nama karyawan rumah sakit diduga telah dibobol.
Pada bulan yang sama, ada dugaan kebocoran 3,5 juta set data keimigrasian, termasuk detail paspor warga negara asing, dari Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Baca Juga: Kaspersky Gagalkan Hampir 43 Juta Ancaman Online Pengguna di Indonesia pada 2021
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan bahwa lebih dari 888 juta serangan siber terjadi di Indonesia antara Januari dan Agustus 2021.
Jumlah ini hampir dua kali lipat dari 495 juta yang tercatat sepanjang 2020.
Baru-baru ini, Kaspersky menemukan kampanye ancaman persisten tingkat lanjut yang langka dan berjangkauan luas yang menargetkan lembaga pemerintah di seluruh Asia Tenggara, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia.
"Ancaman itu dikaitkan dengan kelompok HoneyMyte, yang diketahui menargetkan intelijen geopolitik dan ekonomi di seluruh Asia dan Afrika," kata Genie Sugene Gan (Head of Government Affairs, APAC, Kaspersky) melalui keterangan resminya, Rabu (23/2/2022).
Serangkaian dugaan kebocoran data dan serangan siber terhadap lembaga negara dan swasta di Indonesia menyoroti sifat serangan siber yang berkembang pesat dan semakin agresif.
Baca Juga: Tips Tingkatkan Keamanan Siber Manfaatkan Teknologi Google
"Untuk melindungi pemerintah, bisnis, dan masyarakat umum, kami mengusulkan kombinasi langkah-langkah kebijakan preventif dan kuratif untuk memastikan transformasi digital yang aman di Indonesia," kata Dr. Pratama Persadha (Chairman, CISSREC).
Menurutnya, mengembangkan regulasi keamanan siber dan perlindungan data pribadi.
"Kami mendorong pengembangan Strategi Keamanan Siber Nasional dan pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi undang-undang," ungkap dia.
Pratama menambahkan, diperlukan landasan hukum yang kuat untuk memperkuat keamanan siber di lembaga publik dan swasta serta meminimalkan ancaman serangan siber dan kebocoran data.
"Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera mencapai mufakat dalam hal ini," tegasnya.
Selain itu, diperlukan peningkatan kesadaran keamanan siber. Setiap orang memiliki peran untuk dimainkan dalam memastikan keamanan siber kolektif kita.
Meskipun kita dapat mengambil setiap tindakan pencegahan, namun kita juga harus siap menghadapi
serangan siber yang tak terhindarkan.
"Kami mendukung upaya pemerintah untuk membentuk Computer Security Incident Response Teams (CSIRTs) di berbagai instansi pemerintah," kata dia.
Terpenting adalah berkolaborasi di semua level antara pemerintah, sektor swasta dan publik penting untuk memperoleh pemahaman menyeluruh tentang kekuatan dan kelemahan dalam pendekatan saat ini untuk menangani serangan siber.
"Masalah keamanan siber adalah masalah global yang membutuhkan solusi global. Kerja sama di tingkat regional, misalnya melalui berbagi data dan intelijen, dapat sangat membantu dalam mencegah, mendeteksi, dan memastikan keamanan siber," pungkasnya.