Mengapa Peringkat Inovasi Indonesia Paling Jeblok di antara ASEAN-6?

Liberty Jemadu Suara.Com
Kamis, 17 Februari 2022 | 22:33 WIB
Mengapa Peringkat Inovasi Indonesia Paling Jeblok di antara ASEAN-6?
Peringkat inovasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir paling jeblok jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Foto: Ilustrasi inovasi (stockimage)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Chairil Abdini, dosen kebijakan publik Universitas Indonesia, menemukan beberapa faktor yang menyebabkan peringkat inovasi Indonesia menjadi yang terendah di antara 6 negara ASEAN lainnya. Berikut paparan Chairil seperti yang sebelumnya tayang di The Conversation:

Inovasi penting bagi suatu bangsa karena membuat produk barang dan jasa lebih kompetitif di pasar global, mengurangi ketergantungan terhadap impor, dan meningkatkan kemudahan dan efisiensi pelayanan publik serta kegiatan sosial.

Sayangnya, peringkat inovasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN-6 lainnya, atau negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang perekonomiannya relatif maju di kawasan.

Berdasarkan Indeks Inovasi Global yang dirilis World Intelectual Property Organization (WIPO), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi properti intelektual, peringkat inovasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Baca Juga: Tantangan Bisnis Media ke Depan, Cepat Adaptasi, Inovasi dan Kolaborasi

Pada tahun 2021, Singapura berada pada peringkat 8, Malaysia 36, Thailand 43, Vietnam 44, Filipina 51 dan Indonesia berada pada peringkat 87. Padahal, Pendapatan Domestik Bruto (PDB/GDP) Indonesia jauh di atas negara-negara tersebut.

Apa faktor yang menghambat inovasi di Indonesia? Studi saya menemukan beberapa alasan di balik rendahnya peringkat inovasi Indonesia, di antaranya faktor kegagalan pasar, kurangnya intervensi pemerintah dan pemanfaatan jejaring global, dan kurangnya ancaman eksternal.

Mengapa peringkat inovasi Indonesia rendah?

Pakar studi komparatif dan ekonomi politik internasional dari Amerika Serikat, Mark Zachary Taylor, menyimpulkan bahwa tingkat inovasi suatu bangsa antara lain ditentukan oleh faktor kegagalan pasar, intervensi kebijakan pemerintah dan kelembagaan, jejaring sosial global, serta faktor ketidakamanan kreatif (creative insecurity).

Berdasarkan data pengeluaran untuk riset dan pengembangan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), investasi perusahaan Indonesia untuk riset dan pengembangan sebesar 0,02% dari PDB, terendah dibandingkan Singapura 1,26%, Malaysia 0,59%, Thailand 0,27%, Vietnam 0,21% dan Filipina 0,04%.

Baca Juga: BSSN: Hadapi Tantangan Keamanan Siber Butuh Kolaborasi dan Inovasi

Rendahnya investasi perusahaan Indonesia di bidang riset dan pengembangan mengindikasikan faktor kegagalan pasar berkontribusi terhadap rendahnya inovasi di Indonesia.

Kegagalan pasar terjadi ketika perusahaan tidak berminat atau tidak mampu melakukan investasi di bidang riset dan pengembangan, karena hasil inovasi dengan mudah dapat ditiru oleh perusahaan lain. Selain itu, minimnya kemampuan dalam menyediakan sumber daya (talenta, finansial, peralatan, pengetahuan dan teknologi) yang dibutuhkan dalam berinovasi juga menjadi ganjalan bagi perusahaan.

Inovasi juga mahal dan berisiko tinggi. Oleh sebab itu, perusahaan cenderung memilih kegiatan bisnis dengan risiko lebih rendah seperti misalnya lisensi, perakitan, keagenan, dan pemasaran produk barang maupun jasa dari luar negeri.

Sementara itu, inovasi produk barang dan jasa luar negeri yang dipasarkan terus mengalami inovasi di negara asalnya. Akibatnya, perusahaan dalam negeri semakin jauh tertinggal untuk dapat menghasilkan produk yang setingkat.

Ketika terjadi kegagalan pasar, biasanya pemerintah melakukan intervensi kebijakan dan kelembagaan. Dalam hal ini, masalah yang dihadapi Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum terhadap hak kekayaan intelektual, rendahnya anggaran riset, rendahnya kualitas pendidikan, belum berkembangnya universitas riset, dan kurang mendukungnya kebijakan perdagangan luar negeri.

Tanpa adanya alasan yang kuat mengapa suatu bangsa perlu melakukan inovasi, maka intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan hanya akan berujung pada salah kelola dan misalokasi sumberdaya. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat mempertanyakan penelitian yang dilakukan kementerian dan lembaga yang menghabiskan anggaran Rp 24,7 triliun.

Selain faktor kegagalan pasar dan intervensi pemerintah, kisah sukses suatu bangsa dalam melakukan inovasi juga ditentukan oleh peran jejaring sosial global yang memberikan akses terhadap tenaga peneliti, pengetahuan, teknologi, peralatan dan dana untuk melakukan riset, dan pengembangan sponsor dari yayasan filantropi global.

Studi menunjukkan bahwa keterlibatan akademisi dan peneliti Indonesia pada jejaring sosial global masih rendah dan terisolasi di dalam lembaga tempat mereka mengajar dan meneliti.

Hal ini terjadi karena akademisi Indonesia memiliki mobilitas yang rendah dan kurang berinteraksi dengan sejawat akademisi global. Akibat kurangnya pemanfaatan jejaring sosial global, inovasi di Indonesia tidak berkembang dan bahkan jauh tertinggal dibanding bangsa lain di lingkungan ASEAN.

Lemahnya ketidakamanan kreatif sebagai faktor pendorong inovasi

Taylor mengemukakan hipotesis bahwa ketidakamanan kreatif adalah faktor penyebab mengapa suatu bangsa melakukan inovasi. Ketidakamanan kreatif terwujud ketika ancaman eksternal baik di bidang ekonomi maupun militer lebih tinggi dibanding ketegangan domestik, sehingga pemerintah memberikan dukungan penuh dan motivasi yang kuat untuk melakukan inovasi di kedua bidang tersebut.

Sebaliknya ketika permasalahan domestik lebih dominan dibandingkan ancaman eksternal, pemerintah secara politik akan mengutamakan pengeluaran untuk pelayanan publik dibandingkan pengeluaran untuk inovasi.

Rendahnya prioritas inovasi terjadi selain karena mahal dan berisiko tinggi, pengeluaran untuk inovasi juga akan mengurangi anggaran untuk mengatasi masalah domestik seperti kemiskinan, pengangguran, pemerataan pelayanan pendidikan dan kesehatan, pemerataan infrastruktur, subsidi perumahan, subsidi pertanian, subsidi energi, dan peningkatan kesejahteraan aparatur negara.

Seberapa kuat persepsi ancaman eksternal di bidang militer dapat dilihat dari data belanja militer negara-negara di lingkungan ASEAN-6 dalam periode 2010-2020. Rata-rata belanja militer Indonesia sebesar 0,78% dari PDB. Angka ini terbilang rendah ketika dibandingkan dengan Singapura (3,07%), Malaysia (2,25%), Thailand (1,41%), Vietnam (1,32%), dan Filipina (1,07%).

Secara relatif, data ini menunjukkan persepsi ancaman eksternal di bidang militer di Indonesia rendah dibandingkan negara lain di ASEAN. Sebagai contoh, Vietnam, Malaysia, dan Filipina menghadapi ancaman eksternal sehubungan dengan klaim China di Laut Tiongkok Selatan.

Lemahnya ketidakamanan kreatif Indonesia di bidang militer, dikombinasikan dengan lemahnya ketidakamanan kreatif di bidang ekonomi yang ditandai oleh kegagalan pasar dalam inovasi, mengakibatkan rendahnya daya dorong untuk melakukan inovasi.

Apa yang dapat dan perlu dilakukan

Dapat disimpulkan bahwa dalam mewujudkan inovasi, Indonesia menghadapi masalah kegagalan pasar, lemahnya implementasi kebijakan dan kelembagaan, dan lemahnya jejaring global.

Sedangkan, dari sisi dorongan untuk berinovasi, Indonesia berhadapan dengan relatif lemahnya ancaman eksternal baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi militer. Kondisi ini dalam jangka pendek akan menjadi kendala dalam meningkatkan kinerja inovasi Indonesia.

Pertanyaannya, apakah Indonesia perlu merekayasa ancaman eksternal?

Di dalam masyarakat yang terbuka, merekayasa ancaman eksternal akan mudah terungkap dan menimbulkan sinyal yang salah dan bahkan berbahaya. Hal ini dapat menciptakan musuh dan konflik dagang maupun konflik militer yang tidak perlu.

Namun, tanpa ancaman yang nyata, kebijakan dan kelembagaan riset dan pengembangan akan berujung pada salah kelola dan misalokasi sumberdaya.

Sebetulnya, ancaman eksternal akibat pandemi COVID-19 dapat menjadi dorongan yang cukup kuat karena adanya kelangkaan obat-obatan, vaksin, dan peralatan kesehatan yang sangat bergantung pada produk impor.

Masalahnya, apakah kita bisa mengkapitalisasi pandemi ini menjadi ketidakamanan kreatif? Apakah ketika pandemi ini berlalu, intensitas ketidakamanan kreatif tersebut menurun dan bahkan melemah?

Dalam jangka menengah, defisit neraca pembayaran karena ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap impor barang (obat-obatan, vaksin, biosimilar, energi, alat transportasi dan alusista) dan impor jasa (pendidikan tinggi, kesehatan, keuangan dan logistik) dapat ditransformasikan menjadi ancaman eksternal dan ketidakamanan kreatif untuk mendapatkan dukungan politik. Sehingga, pada gilirannya, hal tersebut akan meningkatkan motivasi untuk melakukan inovasi di bidang-bidang tersebut.

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merefleksikan ancaman nyata yang akan dihadapi Indonesia seperti kelangkaan energi, dampak perubahan iklim, lenyapnya bonus demografi, ancaman penyakit, dan pandemi.

Ke arah inilah setidaknya dukungan politik dan kepemimpinan diperlukan untuk meningkatkan inovasi di Indonesia.

The Conversation

REKOMENDASI

TERKINI