Suara.com - Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa perjanjian penyesuaian pelayanan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) Realignment antara Indonesia dan Singapura harus dipahami secara menyeluruh, baik dari aspek nasional sekaligus internasional yang tidak dapat dipisahkan.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan hasil perundingan FIR Indonesia - Singapura merupakan hasil yang maksimal yang mengedepankan aspek pelayanan dan keselamatan.
“Semua dengan menjaga prinsip-prinsip hubungan luar negeri yang harmonis dan saling menguntungkan," kata Dirjen Novie dalam diskusi daring Penataan Flight Information Region (FIR) di Jakarta, Jumat (4/2/2022).
Novie mengatakan, FIR Realignment ini membahas pengelolaan ruang udara yang mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Serawak, dan Semenanjung Malaya seluas 1.825 kilometer.
Baca Juga: Kesepakatan Wilayah FIR Indonesia Singapura Perlu Dukungan Internasional
Menurut dia, MoU RI-Singapura tersebut telah membuka keuntungan lebih besar yang akan diperoleh Indonesia dengan pengendalian ruang udara di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
Pertama, dari aspek pengakuan ruang udara, dengan berhasil ditandatanganinya MoU FIR Realignment tersebut, maka luasan 249.575 km2 ruang udara Indonesia yang selama ini masuk dalam FIR Singapura akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia (FIR Jakarta).
Kedua, dari sisi keselamatan penerbangan, dapat menghindari fragmentasi/segmentasi layanan, teknis operasional (pengaturan inbound/outbond flow traffic), pengaturan jalur penerbangan hingga efisiensi pergerakan, serta kepatuhan standary ICAO (Annex 11 dan resolusi ICAO Assembly ke 40).
Kemudian keuntungan lainnya adalah dari segi dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan Pemerintah RI (TNI, Polri, Bea Cukai dan lain sebagainya).
"Apabila pesawat RI take off dan landing di batas terluar wilayah Indonesia nantinya diplomatic clearance dikeluarkan oleh Indonesia. Selain itu, pesawat Indonesia kini patroli tak perlu izin dari negara lain. Dengan demikian, keselamatan dan kerahasiaan bisa ditangani Indonesia sendiri,” ujarnya.
Baca Juga: 2 Kecerdikan Singapura Menurut Guru Besar UI Dalam Bernego FIR dengan Indonesia
Dikatakannya, perjanjian ini merupakan hasil dari 40 kali lebih perundingan yang sangat alot dan terperinci dengan Singapura.
Tak hanya itu, terjalinnya kerja sama sipil-militer di air traffic management (Civil-Military Aviation Cooperation) Indonesia dan Singapura serta penempatan personil di Singapore ATC Centre. Indonesia juga memiliki kendali pada delegasi layanan melalui evaluasi operasional.
Hal lainnya yang dapat diperoleh dari MoU FIR Realignment itu adalah manfaat dari sisi ekonomi negara, yakni peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.
Terkait adanya pendelegasian kepada Singapura, yakni area sekitar 29 persen di bawah ketinggian 37.000 kaki atau area yang berada di sekitar Bandara Changi, menurut Novie hal tersebut lebih dikarenakan pertimbangan keselamatan penerbangan.
"Di dalam 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan seperti di Bandara Batam, Tanjung Pinang, dan lainnya. Hal ini sudah sesuai dengan pasal 263 UU nomer 1 Tahun 2009, dan ANNEX 11 article 2.1.1 konvensi Chicago 1944 serta resolusi ICAO Assembly ke 40," jelas Novie.
Lanjut dia, pendelegasian tersebut tidak berarti Pemerintah Indonesia mengabaikan kedaulatan. Ia menegaskan, Indonesia sudah mempersiapkan ini sejak lama. Bahkan sekitar dua tahun lalu, AirNav sudah membuat simulator bagaimana nanti pelayanannya.
“Traffic di upper Natuna maupun traffic di upper Riau sudah diinjeksi di simulator," katanya.
Dari segi SDM, dikatakan Novie pihaknya sudah melatih baik di tingkat lower maupun upper. Semuanya juga sudah mempunyai rating untuk pelayanannya.
“Teman teman yang akan melayani nanti sudah memiliki rating. Rating ini penting untuk Air Traffic Services,” ujarnya.
Dari sisi teknologi, Indonesia sudah menggunakan standar teknologi yang sama dengan Singapura dan Malaysia.
“Di antaranya menggunakan satellite-bassed navigation, VHF ER dan radar, serta komunikasi secara digital,” pungkas Novie. [Antara]