Suara.com - Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengungkapkan bahwa absennya gempa besar di segmen megathrust Selat Sunda membuat kawasan tersebut harus terus diperhatikan dan diwaspadai.
Berbicara dalam diskusi online bersama Radio Trijaya, Sabtu (22/1/2022), Daryono membandingkan Selat Sunda dengan Pangandaran, Jawa Barat dan Bengkulu di Sumatra yang sama-sama zona pertemuan lempeng Eurasia dari utara dan Indo-Australia dari selatan.
"Selat Sunda belum mengalami gempa besar hampir lebih dari 300 tahun. Mengapa demikian? Tidak ada yang tahu," terang Daryono.
Lebih lanjut Daryono membeberkan bahwa gempa 7,7 di Pangandaran pada 2006 dan magnitudo 8,5 di Bengkulu pada 2007 adalah bagian dari aktivitas seismik megathrust. Di Selat Sunda juga ada potensi gempa besar, dengan energi tertarget magnitudo 8,7.
Baca Juga: Jumlah Gempa Indonesia Melonjak Drastis di Januari 2022, Pertanda Apa?
"Selat Sunda sama-sama megathrust dengan Bengkulu dan Pangandaran. Mengapa Selat Sunda dilewatkan? Berarti di Selat Sunda masih ada akumulasi energi yang belum dirilis," ia menerangkan.
Daryono mengatakan absennya gempa besar di segmen megathrust Selat Sunda, ketika di segmen megathrust lainnya sudah terjadi lindu besar - disebut dengan istilah seismic gap.
Adapun gempa 6,6 di Banten pada 14 Januari kemarin, Daryono melanjutkan bukan merupakan bagian dari pelepasan energi segmen megathrust Selat Sunda. Alasannya karena pusat gempa itu bukan di bidang kontak atau titik pertemuan antarlempeng.
"Bidang kontak (antarlempeng) itu di sekitar 250 kilometer selatan Jawa," tambah Daryono.
Baca Juga: Kepulauan Talaud Diguncang Gempa Magnitudo 6,1, Rumah Warga dan Gereja Rusak Ringan