Potensi masalah masa depan
Bayangkan sebuah dunia virtual yang tampak lebih realistis, praktis, dan fantastis daripada apa yang terjadi di dunia nyata.
Bayangkan jika seluruh layanan perbankan, misalnya, dapat diakses dalam secara virtual. Kita tidak perlu menghabiskan waktu mengantri di customer service untuk sekadar mengganti kartu debit dan cetak buku tabungan. Sebab, semuanya dapat dilakukan dalam sebuah ruang virtual tanpa harus meninggalkan rumah.
Metaverse memang berpotensi menjadi teknologi yang sangat berguna bagi manusia. Salah satunya bagi penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan fisik untuk melakukan mobilitas di dunia nyata. Namun, tetap saja inklusivitas metaverse masih dipertanyakan khususnya bagi yang mengalami keterbatasan penglihatan dan orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap internet.
Tidak hanya itu, potensi adiksi terhadap metaverse akan lebih besar dari candu terhadap media sosial. Sebuah riset menunjukkan kecanduan teknologi dan internet seperti media sosial, ponsel pintar, dan game dapat berujung pada depresi. Kita perlu riset untuk mengetahui bagaimana dampaknya jika seseorang mengalami ketagihan untuk hidup dalam metaverse. Apakah misalnya, pertemuan tatap muka akan terasa canggung dan kikuk dibanding interaksi manusia secara virtual.
Tidak menutup kemungkinan pula, para penduduk metaverse akan terpolarisasi sebagai akibat dari algoritma yang dapat berujung pada misinformasi, perundungan siber, dan perpecahan. Belum lagi soal kejahatan siber lintas negara, pencurian data pribadi, dan pelecehan seksual secara virtual yang akan menjadi semakin pelik.
Untuk itu, negara perlu segera menyediakan payung hukum berupa Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang juga mengakomodasi pengaturan ranah virtual untuk mengatasi potensi masalah yang akan terjadi dalam metaverse.
Yang perlu dipahami, kita perlu memberikan batasan sejauh mana metaverse perlu digunakan untuk menunjang aktivitas dan kehidupan sehari-hari.
Gerakan logout secara berkala dapat dilakukan manusia tidak lupa bahwa kehidupan yang sebenarnya berada di dunia nyata. Bukan dalam metaverse yang penuh dengan fantasi dan imajinasi sebagai bentuk eskapisme dari kehidupan di dunia nyata.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Sama-sama Metaverse, 4 Perbedaan Decentraland dan Sandbox