Suara.com - Phising, ransomware dan serangan ke aset digital seperti mata uang kripto akan menjadi tren ancaman digital pada 2022 mendatang, demikian dikatakan Acronis, perusahaan keamanan digital asal Singapura.
Dalam laporan bertajuk Acronis Cyberthreats Reports 2022 disebutkan bahwa masalah keamanan siber pertama yang akan menjadi tren di 2022 adalah phising.
Acronis memperkirakan pada 2022 mendatang sekitar 94 persen malware akan dikirim via email dan menggunakan teknik rekayasa sosial untuk mengelabui penerima atau korban. Teknik ini dikenal sebagai phising.
Phising bukanlah ancaman siber baru dan bahkan telah menduduki posisi pertama untuk masalah keamanan siber bahkan sebelum pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Di 2021 saja, Acronis mencatat pemblokiran email phising mencapai lebih dari 23 persen.
Baca Juga: Ancaman Siber di 2022 Masih Didominasi Pencurian Data dan Ransomware
Masalah lain yang berkembang dari phising adalah para pelaku serangan siber mulai beralih ke aplikasi pesan singkat atau messenger. Mereka berupaya merampas akun, mencuri data pribadi dan identitas, lalu menyasar orang atau kontak di dalam aplikasi korban.
Masalah kedua yang akan jadi tren keamanan digital di 2022 adalah ransomware yang menyasar para pelaku bisnis besar dan UMKM. Sektor publik, perawatan kesehatan, manufaktur, dan organisasi penting lainnya termasuk dalam target bernilai tinggi.
Acronis memperkirakan kerugian global akibat ransomware akan melebihi 20 miliar dolar AS sebelum akhir 2021 atau setara Rp 284 triliun.
Masalah keamanan siber selanjutnya adalah mata uang kripto kini menjadi sasaran favorit para pelaku kejahatan siber. Malware dan infostealer dengan gencar menyerang para pemilik mata uang kripto untuk menukar alamat dompet digital mereka dan mendapatkan keuntungan dari hal itu.
Serangan sejenis diprediksi akan terus berlanjut di 2022 terutama semakin banyak orang yang beralih melakukan investasi berisiko tinggi itu.
Baca Juga: UU PDP Tak Cukup Perangi Kejahatan Siber
“Serangan terhadap aplikasi Web 3.0 juga akan lebih sering terjadi dan serangan baru yang semakin canggih seperti serangan pinjaman kilat akan memungkinkan penyerang menguras jutaan dolar dari kumpulan mata uang kripto,” kata laporan dalam Acronis.
Dengan masalah- masalah keamanan siber itu, tentunya kebutuhan terhadap perlindungan privasi dan keamanan data siber juga ikut meningkat. Tahun 2021 dapat dibilang sebagai rekor terburuk dalam sejarah keamanan siber.
Kehadiran pandemi COVID-19 nampaknya turut memicu pandemi siber dengan banyaknya kebocoran data, pencurian identitas, hingga serangan- serangan malware.
Indonesia tak terkecuali namun juga tak sendiri karena masalah ini dialami secara global. Dengan rencana Indonesia membuka Pusat Data Nasional tentunya kesadaran perlindungan data siber juga harus dimiliki oleh masyarakatnya.
Secara khusus Acronis menyarankan agar orang Indonesia bisa lebih peka dan mulai memberi perlindungan siber para perangkat elektroniknya agar bisa memberi perlindungan para data-data miliknya.
Masyarakat Indonesia terbilang tidak peduli pada perlindungan siber untuk saat ini. Untuk itu diperlukan kesadaran agar hal serupa tidak terjadi.
Secara global, Singapura, Tiongkok, dan Brasil menjadi negara yang paling tinggi memiliki tingkat deteksi terhadap serangan siber sebesar 50 persen lebih. Sementara dari segi ransomware, Uni Emirat Arab menjadi kawasan yang paling baik mendeteksi ransomware. [Antara]