Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Mungkin Lebih Efektif dengan Bahasa Agama

Liberty Jemadu Suara.Com
Selasa, 30 November 2021 | 21:53 WIB
Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Mungkin Lebih Efektif dengan Bahasa Agama
Aktivis dari berbagai organisasi lingkungan berjalan menuju Taman Aspirasi Monas saat aksi terkait krisis iklim di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (20/9). [Suara.com/Arya Manggala]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aktivis lingkungan Muslim yang juga Ambasador Green Faith Nana Firman mengatakan umat agama memiliki kekuatan untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim di tengah masyarakat.

"Umat beragama itu sangat berpengaruh, cukup powerful, dan punya sudah punya jaringan dan infrastruktur sendiri. Jadi mereka bisa diajak kerjasama mengarusutamakan isu perubahan iklim," kata Nana dalam webinar Literasi dan Aksi Iklim Generasi Muda Religius Lintas Agama yang dipantau di Jakarta, Selasa (30/11/2021).

Ia mengatakan melalui generasi muda yang religus, pemerintah dalam hal ini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dapat melibatkan generasi muda di dalam komunitas agama untuk memberikan materi-materi terkait perubahan iklim.

"Kita juga bisa melibatkan pemuka agama untuk memasukkan perubahan iklim ke dalam ceramah mereka atau kutbah mereka. Mungkin tidak masuk menggunakan bahasa ilmiah tapi menggunakan bahasa-bahasa agama," katanya.

Baca Juga: Dampaknya Benar Terasa, Tapi Perubahan Iklim Tenggelam dalam Diskusi Sosial

Menurut Nana seluruh agama di dunia memiliki pandangan universal untuk melestarikan bumi. Generasi muda dalam kelompok agama pun biasanya lebih bersemangat terlibat aksi perubahan iklim di negaranya sendiri dengan agenda yang dirumuskan secara global, guna menekan arah kebijakan pemerintahan di dunia.

Sementara itu, Ketua Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hayu S Prabowo mengatakan keserakahan manusia menjadi salah satu penyebab krisis iklim yang mengakibatkan bencana alam.

"Krisis iklim sejatinya krisis moral, dimensinya banyak. Jadi terefleksi pada kehidupan manusia modern yang kurang mengindahkan kehidupan berkelanjutan," kata Hayu dalam acara yang sama.

Krisis iklim, kata dia, juga perlu ditangani oleh pendekatan agama agar masyarakat menyadari bahwa alam perlu dipelihara untuk kelangsungan hidup manusia ke depan.

MUI, menurut Hayu, telah menerbitkan enam fatwa berkaitan dengan pelestarian alam, yakni Fatwa Nomor 2 Tahun 2010 tentang Daur Ulang Air, Fatwa Nomor 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, dan Fatwa Nomor 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka.

Baca Juga: BRIN: Aktivitas Petir Meningkat Akibat Perubahan Iklim

MUI juga menerbitkan Fatwa Nomor 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah, Fatwa Nomor 1/2015 tentang Pendayagunaan ZISWAF untuk Pembangunan Sarana Air dan Sanitasi Masyarakat, dan Fatwa Nomor 30/2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan.

"Dari fatwa itu, kita kemudian membuat pedoman umum. Lalu kita adakan sosialisasi dan pelatihan bagi DAI untuk penerapannya," kata Hayu
.
Dalam kesempatan yang sama, Plt. Deputi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan perlu menggandeng generasi muda religius lintas agama untuk turut dalam pelestarian lingkungan guna mengurangi dampak perubahan iklim.

"Sebagai negara berketuhanan yang maha esa, upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim dapat melibatkan unsur masyarakat berbasis keagamaan, yang banyak mengajarkan berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan. Upaya ini terutama dilakukan di antara kaum muda," katanya. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI