Suara.com - Australia mengumumkan bahwa fenomena La Nina telah mulai terjadi dan merupakan yang kedua dalam dua tahun terakhir. Dikhawatirkan fenomena akan memicu bencana seperti banjir, longsor, serta siklon.
Badan meteorologi Australia (BOM) mengatakan La Nina kali ini akan lebih lemah dibandingkan dengan pada tahun lalu. Meski demikian, fenomena ini diyakini akan berpengaruh terhadap cuaca dunia, termasuk di Indonesia.
Organisasi meteorologi dunia (WMO) sendiri belum mendeklarasikan adanya La Nina, tetapi telah memperingatakan kemungkinan terjadinya fenomena cuaca itu.
"Pemodelan iklim menunjukkan La Nina akan terjadi lebih singkat, berlangsung hingga musim panas atau musim gugur 2022 di belahan Bumi bagian selatan," jelas BOM seperti dilansir dari BBC, Selasa (23/11/2021).
Baca Juga: Musim Penghujan, BMKG Jogja Ingatkan La Nina Picu Peningkatan Curah Hujan hingga 60 Persen
La Nina adalah satu dari tiga fase cuaca yang dikenal sebagai El Nino Southern Osciliation (ENSO). Dua fase lain adalah El Nino yang ditandai dengan udara yang lebih hangat dan fase netral.
La Nina terjadi ketika angin meniup udara hangat di permukaan Pasifik dari Amerika Selatan ke arah Indonesia. Alhasil, air dingin akan naik ke permukaan Lautan Pasifik.
Dengan kata lain, ketika terjadi La Nina, suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah turun hingga di bawah kondisi normalnya. Akibatnya, di Australia La Nina membuat suhu lebih dingin pada siang hari dan memicu cuaca lebih basah, serta meningkatkan potensi siklon tropis.
Di Indonesia, seperti dilansir dari laman resmi BMKG, La Nina meningkatkan curah hujan dan karenanya memicu potensi bencana seperti banjir dan longsor.
La Nina pada 2020 telah menyebabkan banjir besar di Australia dan memaksa ribuan orang mengungsi. Sementara di Kanada dan Amerika Serikat, La Nina meningkatkan potensi badai dan badai salju. Di Eropa, La Nina memicu musim dingin yang lebih basah.
Baca Juga: Antisipasi La Nina, Anies: Siaga, Tanggap dan Galang