Suara.com - Dua ilmuwan Indonesia, Yenni Vetrita dari BRIN dan Bambang Hero Saharjo dari IPB University menemukan dalam studi mereka bahwa hutan primer gambut di Kalimantan serta Sumatra akan punah jika kebakaran hutan tidak dikendalikan. Berikut uraian mereka yang sebelumnya ditayangkan di The Conversation:
Sekitar 50 tahun mendatang, anak cucu kita mungkin tidak bisa lagi melihat secara langsung seperti apa hutan primer yang berada di lahan gambut (hutan gambut) pulau Sumatra dan Kalimantan. Hutan primer adalah hutan yang belum terjamah oleh aktivitas manusia.
Per 2015, kami mencatat luas kawasan hutan primer di kawasan gambut hanya sekitar 438 ribu hektare (ha) di Sumatra dan 426 ribu ha di Kalimantan. Padahal, pada 1990, hutan primer di kedua pulau itu membentang hingga 3,8 juta ha atau melebihi luas provinsi Jawa Tengah.
Penelitian kami bersama ahli ekologi dari University of Maryland Center for Environmental Science Amerika Serikat, Mark A. Cochrane menunjukkan hutan yang tinggal sedikit itu tidak membutuhkan waktu lama untuk habis —- sekitar 50 tahun —- bila laju kebakaran tidak diturunkan.
Baca Juga: KLHK Tuding Greenpeace Terlibat dengan Perusahaan Penyebab Deforestasi
Prediksi tersebut dihitung berdasarkan formula Fire Return Interval. Formula ini menggambarkan berapa lama waktu yang dibutuhkan sebuah area untuk habis terbakar berdasarkan rata-rata laju kebakarannya setiap tahun.
Perhitungan itu berbasis data satelit Terra/Aqua MODIS Burned Area Collection 6 yang mendeteksi area bekas terbakar secara bulanan sejak tahun 2001-2018. Kami juga menyandingkan data tutupan lahan gambut tahun 1990, 2007, dan 2015 dari studi yang pernah diterbitkan di jurnal Global Ecology and Conservation tahun 2016.
Dari data-data tersebut, kami menemukan setidaknya 8% (3.8 juta ha) dan 9% (4,7 juta ha) daratan Sumatra dan Kalimantan pernah mengalami kebakaran.
Nah, sekitar 45% area (1,7 juta ha) di Sumatra dan 32% (1,5 juta ha) di Kalimantan yang pernah terbakar itu berada di lahan gambut. Angka ini setara dengan seperempat dari total area gambut di kedua pulau tersebut (dari sekitar total 13 juta ha kawasan gambut di Sumatra dan Kalimantan berdasarkan data dari organisasi nirlaba Wetland International).
Berdasarkan hasil perhitungan Fire Return Interval, laju kebakaran di lahan gambut lima kali lebih cepat ketimbang di lahan lainnya.
Baca Juga: Jokowi Siap Berbagi Pengalaman Sukses Atasi Karhutla kepada Negara Lain
Tingginya laju tersebut berhubungan dengan tingginya tingkat kerentanan kawasan gambut terhadap api apabila terdegradasi atau menjadi kering.
Setiap tahun, rata-rata ada sekitar 2.8% dari total luas kawasan gambut di Sumatra dan Kalimantan yang dilalap api. Sedangkan laju kebakaran di luar kawasan gambut hanya 0.6% per tahun.
Hasil kalkulasi ini juga dapat diartikan bahwa ancaman kehilangan lahan gambut akibat kebakaran lima kali lebih cepat dibandingkan lahan di luar gambut. Jika laju ini tidak diredam, maka hutan alam gambut di dua pulau tersebut akan habis dilalap api pada 50 tahun mendatang.
Kami menduga total area terbakar yang dianalisis dalam studi ini masih lebih rendah ketimbang angka sebenarnya. Hal ini mengingat adanya faktor tutupan awan yang tinggi di wilayah Indonesia, serta tingkat presisi satelit yang tak mampu mendeteksi kebakaran yang lebih kecil dari 6.25 ha.
Kawasan gambut secara alami sebenarnya tak mudah terbakar karena karakter lahannya yang basah. Kerentanan akan muncul apabila kawasan gambut mengering. Api tak hanya melahap permukaan lahan, tapi juga material gambut itu sendiri – yang kaya akan unsur organik – sehingga kebakaran berisiko terus meluas.
Secara umum, kami melihat frekuensi kebakaran hutan alam meningkat pada periode pertama analisis, yakni tahun 2001-2007. Namun angka ini menurun pada periode kedua analisis, yakni selama 2008-2018.
Laju kebakaran hutan alam gambut (yang dihitung dari data hutan gambut per tahun 1990) adalah sebesar 74.300 ha/tahun untuk Sumatra dan 76.100 ha/tahun di Kalimantan.
Sementara, pada 2008-2018, laju kebakaran menurun hingga 500 ha/tahun di Sumatra dan 100 ha/tahun di Kalimantan.
Beberapa inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia seperti larangan pembukaan hutan dan gambut sejak 2011 bisa jadi salah satu faktor penting yang mendukung temuan ini. Namun riset yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk memastikan hal tersebut.
Kebakaran berulang atau di lahan baru?
Pertanyaan awal yang terbersit di benak kami adalah, apakah kebakaran ini terjadi di tempat yang sama secara berulang atau di lahan yang baru.
Kami menemukan bahwa hampir separuh dari kebakaran yang terjadi di wilayah gambut Sumatra dan Kalimantan terdeteksi di tempat yang sama. Sebagian besar kebakaran berulang berlokasi di lahan semak belukar atau di lahan bekas hutan yang telah rusak.
Bila ditinjau kembali, sekitar 63-71% atau sekitar 1,9 - 2,3 juta ha dari lokasi yang pernah terbakar selama 2001-2018 di Sumatra dan Kalimantan sebelumnya merupakan kawasan berhutan.
Namun, hutan tersebut tidak serta merta diubah menjadi lahan yang dikelola secara permanen (misalnya untuk perkebunan besar).
Justru lahan yang tidak dikelola lebih lanjut inilah yang ditemukan sebagai lokasi yang kerap terbakar kembali. Tercatat, sekitar 29% (632 ribu ha) dari total kawasan perkebunan di Sumatra seluas 2,4 juta ha, dan 39% (316 ribu ha dari 809 ribu ha) di Kalimantan pernah mengalami sejarah kebakaran.
Meski api kerap melalap kawasan yang pernah terbakar, bukan tidak mungkin kebakaran akan meluas ke hutan alam lainnya (yang belum terdampak aktivitas manusia). Sebab, saat ini kita berhadapan dengan peningkatan suhu bumi – yang telah mengubah pola curah hujan – sehingga lebih memicu kebakaran.
Keadaan ini kemudian diperparah dengan kebiasaan masyarakat ataupun pihak-pihak tertentu yang sengaja membakar lahan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan sekitar 99% kejadian kebakaran hutan dan lahan dipicu oleh manusia.
Opsi utama adalah pencegahan kebakaran
Mengembalikan hutan alam yang rusak membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun. Karena itu, hutan alam harus dijaga dari salah satu ancaman terbesarnya, yaitu kebakaran.
Selama ini, pemerintah menerjunkan pasukan pemadam api di lapangan (Manggala Agni) yang juga bekerja sama dengan aparat jika kebakaran semakin membesar. Upaya pemadaman yang menelan biaya besar dan melelahkan itu sebenarnya tak perlu ditempuh apabila sarana dan prasarana pengendalian kebakaran di suatu kawasan sudah lengkap, serta sistem pemantauan (melalui menara, pesawat nirawak, atau patroli terpadu) sudah berjalan optimal.
Di atas itu semua, pencegahan semestinya menjadi langkah utama.
Pemerintah bisa menargetkan pencegahan di area tertentu berdasarkan informasi tingkat bahaya kebakaran versi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (LAPAN)-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Kepolisian juga perlu mengoptimalkan sistem deteksi dini yang telah tersedia .
Sementara, bagi masyarakat dan korporasi, sistem penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB) yang tidak menggunakan api harus diterapkan secara konsisten.
Langkah lainnya yang mesti dioptimalkan adalah perlindungan sekaligus rehabilitasi kawasan gambut yang rusak. Inisiatif ini sudah dimulai sejak 2016 saat Presiden Joko widodo membentuk Badan Restorasi Gambut. Sejauh ini, badan tersebut telah memfasilitasi pemulihan 4 juta ha kawasan gambut bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Aksi ini menjadi penting karena lahan gambut yang mengering–apabila terbakar–juga berisiko menghasilkan emisi lebih banyak lantaran asapnya yang lebih tebal.
Asap tersebut, berdasarkan studi, mengandung 90 jenis gas – lebih dari separuh di antaranya (contohnya metana dan amonia) berbahaya bagi kesehatan.
Sedangkan degradasi kawasan gambut di Asia Tenggara diprediksi telah melepaskan emisi sebesar 125-185 juta ton karbon per tahun. Jumlah Emisi ini setara dengan perjalanan darat bolak-balik Aceh-Lampung via Jalan Raya Lintas Sumatra.