Suara.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penggunaan teknologi informasi (TI), baik dalam melakukan transaksi keuangan maupun operasional di sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) akan semakin menggeliat pada tahun depan.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi mengatakan, penerapan pembatasan sosial dan mobilitas selama pandemi telah menciptakan sebuah kondisi yang ideal untuk mempercepat proses digitalisasi di berbagai bidang.
"Dari perspektif pelaku usaha, pemanfaatan teknologi untuk mendukung proses bisnis menghadirkan peluang untuk dapat menjangkau target pasar yang lebih luas secara lebih efektif dan efisien," ujar Riswinandi dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (23/11/2021).
Untuk industri asuransi misalnya, survei Swiss Re Institute di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa tingkat penerimaan konsumen terhadap produk asuransi yang dipasarkan melalui platform digital ternyata cukup signifikan, yaitu mencapai lebih dari 70 persen responden yang disurvei.
Baca Juga: OJK Atur Kembali Syarat Perizinan Pinjol, Tak Ada Lagi Status Terdaftar
Sementara itu dalam konteks digitalisasi pada lingkup nasional, hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menunjukkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia sepanjang 2019-2020 mencapai 73,7 persen dari total jumlah penduduk.
"Dengan demikian, kombinasi antara minat penggunaan platform digital dan pertumbuhan tingkat penetrasi internet dimaksud semestinya dapat dioptimalkan sebagai salah satu modal penting untuk mendorong pertumbuhan tingkat inklusi pada sector IKNB," kata Riswinandi.
Tanpa didukung penguatan literasi, lanjutnya, maka pelaku sektor IKNB dapat menghadapi eksposur risiko reputasi yang lebih tinggi, antara lain disebabkan oleh terjadinya misselling akibat minimnya pemahaman masyarakat terhadap manfaat dan risiko dari suatu produk jasa keuangan.
Sementara itu dari perspektif pelaku usaha, ketergantungan yang lebih tinggi terhadap infrastruktur TI juga meningkatkan eksposur perusahaan terhadap kelompok risiko siber.
Sebagai contoh, terjadinya kasus peretasan pada sistem TI (cyber attack) perusahaan dapat mengganggu kualitas layanan dan operasional perusahaan, serta bahkan dapat membahayakan keamanan data pribadi nasabah.
Baca Juga: Cetak Rekor! Dana Masuk Pasar Modal Capai Rp274,32 Triliun Dalam Sehari
Sebagai bagian dari kebijakan untuk mendorong mitigasi risiko TI yang lebih optimal oleh pelaku sektor IKNB, maka OJK telah menerbitkan aturan POJK 4/2021 tentang Manajemen Risiko Teknologi Informasi Oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, yang mencakup diantaranya perusahaan perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan, dan penyelenggara fintech lending.
Selain mengatur hal-hal yang terkait dengan penerapan manajemen risiko TI, aturan tersebut juga memuat substansi terkait penyelenggaraan sistem TI, utamanya yang terkait dengan kewajiban pelaku industri untuk melakukan proteksi atas data-data perusahaan dan konsumen.
Selain itu, POJK tersebut juga mengatur mengenai kewajiban pelaku industri untuk melakukan upaya terbaik dalam melindungi data pribadi konsumen dan menghindari terjadinya penyalahgunaan data dimaksud.
"Kami berharap agar kebijakan dimaksud dapat menjadi sebuah guideline bagi para pelaku sektor IKNB, agar proses inovasi di sektor tersebut terus berjalan secara prudent dan bertanggung jawab, sehingga dapat berkontribusi positif terhadap kinerja pelaku industri dan sekaligus tetap melindungi kepentingan nasabah," ujar Riswinandi. [Antara]