Suara.com - Studi dua peneliti Universitas Padjadjaran Noir Primadona Purba dan Muhamad Maulana Rahmadi menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil dari Aceh hingga Papua semakin sempit dilahap air laut. Perubahan iklim sungguh terasa dampaknya dari hari ke hari. Berikut penjabaran mereka:
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia patut mengkhawatirkan dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan pulau-pulau kecil.
Secara global, penelitian menunjukkan muka laut telah naik sekitar 21–24 cm sejak tahun 1880 akibat mencairnya es di kawasan Arktik dan Antartika sebagai dampak krisis iklim.
Sedangkan temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menaksir sekitar 115 pulau kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam. Ratusan pulau berpotensi terkena dampak berlipat akibat kenaikan permukaan air laut sekaligus penurunan muka tanah.
Baca Juga: Di KTT COP26, AS-Indonesia Desak Negara Kaya Berperan Aktif Mitigasi Perubahan Iklim
Data lainnya dari lembaga riset dan advokasi Climate Central menunjukkan, kenaikan air laut setinggi satu meter saja akan menenggelamkan sebagian wilayah pantai utara Jawa. Sebab, kemiringan daratan di kawasan pesisir tersebut amat kecil (0-20 derajat).
Dampak ini perlahan mulai terlihat. Studi yang kami lakukan sejak 2011 menunjukkan bahwa tren kenaikan muka laut telah mengurangi luas daratan sejumlah pulau-pulau kecil. Tanpa upaya mitigasi yang agresif, risiko yang ditemukan dalam studi BRIN bisa menjadi kenyataan.
Air laut yang merangsek daratan
Kenaikan muka air laut dapat menimbulkan gelombang yang lebih besar sehingga “mendesain ulang” garis pantai. Lapisan sedimen di beberapa tempat di daratan juga dapat luruh ke laut sehingga menimbulkan erosi dan banjir di daerah lainnya. Dampak dari erosi inilah yang dapat menenggelamkan sebuah pulau terutama pulau-pulau kecil.
Penelitian kami menunjukkan bahwa selama 1993-2009, luas daratan di Pulau Rondo, yang terletak di ujung barat selat Malaka, Aceh, terus berkurang sebesar 1,856 meter persegi per tahun. Hal ini terjadi akibat kenaikan air laut setinggi 1,30 mm per tahun.
Baca Juga: Di KTT COP26, Jokowi Sebut Kebakaran Hutan Indonesia Turun 82 Persen Di Tahun 2020
Tren kenaikan air laut juga terjadi di Pulau Berhala — terletak di kawasan perairan Provinsi Riau sebelah timur, — sebesar 3,46 mm/tahun, dan juga Pulau Nipah di Kepulauan Riau sebesar 3,48 mm/tahun.
Akhirnya, selama periode serupa, air laut melahap daratan di kedua pulau tersebut. Angkanya masing-masing sebesar 3.178 m2 per tahun dan 3.409 m2 per tahun tahun selama 1993-2009.
Hasil riset sementara (belum dipublikasi) yang dilakukan oleh tim peneliti lainnya dari Departemen Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat menemukan sekitar lima pulau terluar Indonesia mengalami penurunan luasan. Pengurangan mulai dari 0.005 km2 hingga 0.09 km2 selama kurun waktu 10 tahun.
Perubahan luasan tersebut didapatkan melalui analisis piksel sejumlah citra satelit yang menggambarkan perbatasan pasir dan laut di suatu pulau. Gambaran ini kemudian dikonversi menjadi titik-titik yang terhubung satu sama lain (polygon) lalu dhihitung menggunakan field calculator.
Sedangkan di Pulau Miangas (seluas 3,2 km2) – terletak di perbatasan Indonesia dan Filipina – mengalami penurunan luasan 0.2% dari total wilayahnya sejak tahun 2004 atau sekitar 0.02 km2/tahun.
Kemudian, pulau Sekatung (seluas 1,65 km2) yang berada di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, juga mengalami penurunan luasan sebesar 0.66 km2/tahun. Lalu Pulau Berhala yang terletak di selat Malaka turut mengalami penurunan luasan sebesar 0.002 km2/tahun.
Kawasan timur Indonesia juga tak lepas dari risiko ini. Seperti di Pulau Workbondi seluas 1,62 km2 di sebelah utara teluk Cenderawasih; Papua, mengalami penurunan luasan 0.004 km2/tahun.
Di Laut Jawa, Pulau Candikian dan Pulau Gosong di Indramayu, Jawa Barat juga nyaris tenggelam, luasannya hanya bersisa beberapa meter persegi dengan ketinggian daratan tidak lebih dari 2 meter.
Sementara itu, di pulau Biawak yang juga berlokasi di perairan Indramayu terjadi penurunan luasan sebesar 0.22 km2/tahun. Kami bahkan meyakini, kenaikan 0.5 meter air laut akan menenggelamkan setengah dari pulau yang hanya seluas 120 hektare ini.
Upaya pencegahan dan adaptasi harus segera dilakukan
Manusia harus berbesar hati mengakui bahwa saat ini perubahan iklim sudah terjadi dan tak dapat dicegah. Sebab, sekalipun upaya meredam risiko yang paling optimal telah dilakukan, muka laut diprediksi tetap akan naik setidaknya 0.6 m di tahun 2100 dengan kasus terburuk adalah 1.1 m.
Upaya adaptasi harus dilakukan guna mengurangi efek dari perubahan iklim. Banyak upaya yang bisa ditempuh, seperti penanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) pada pulau berstruktur pasir di Taman Nasional Taka Bonerate di Kepulauan Selayan, Sulawesi Selatan. Tanaman cemara laut berfungsi menahan laju erosi sekaligus meningkatkan kualitas tanah.
Indonesia juga dapat memulai studi untuk meniru langkah Dubai, Uni Emirat Arab, yang memiliki teknologi reklamasi daratan dan perlindungan kawasan pesisir. Langkah ini membutuhkan upaya perencanaan yang matang sekaligus dukungan anggaran yang memadai.
Bagi masyarakat – khususnya penduduk kawasan pesisir – harus lebih mahir beradaptasi dengan kondisi alam yang terdampak pemanasan global. Langkah penyesuaian melalui penggunaan rumah panggung menjadi salah satu alternatif selain meningkatkan kesadaran akan dampak tersebut mulai dari sekarang.
Untuk mencegah situasi bertambah buruk, Indonesia telah berkomitmen mengurangi polusi karbon 29-41% pada 2030 melalui komitmen aksi iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution_.. Dokumen ini – yang juga disusun negara lainnya – turut dibahas dalam konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang perubahan iklim (COP26) di Glasgow selama 31 Oktober - 12 November.
COP26 menjadi momen penting bagi seluruh pihak untuk menyepakati upaya meredam emisi hingga ke titik nol pada 2050 – atau mungkin lebih cepat. Sebab, pulau-pulau kecil membutuhkan upaya penyelamatan segera guna mencegah kerusakan lanjutan pada ekosistem dan biota perairan yang juga berperan dalam menjaga stabilitas iklim.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.