Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat aktivitas gempa swarm pascagempa magnitudo 3,0 yang terjadi di Banyubiru, Ambarawa dan sekitarnya pada Sabtu (23/10/2021) mulai menurun, namun patut diwaspadai sifat kambuhan dari gempa swarm.
"Menurunnya frekuensi aktivitas swarm ini patut kita syukuri, semoga ini menjadi petunjuk bahwa aktivitas swarm akan segera berakhir. Namun, yang patut diwaspadai adalah perilaku swarm yang bersifat kambuhan," kata Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono di Jakarta, Selasa (26/10/2021).
Meskipun aktivitas swarm sudah luruh secara signifikan, terkadang masih bisa muncul lagi dan meningkat lagi seperti pada kasus aktivitas swarm di Jailolo Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara dan Swarm Mamasa Sulawesi Barat.
Gempa swarm dicirikan dengan serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi.
Baca Juga: INFOGRAFIS: Gelombang Panas 40 Derajat Celcius Landa Indonesia ?
Hasil monitoring BMKG pada Senin (25/10) hingga pukul 24.00 WIB terjadi tiga kali gempa swarm di Banyubiru, Ambarawa dan sekitarnya, yaitu pada pukul 5.05.59 WIB M2,5, kemudian pukul 14.43.18 WIB M2,7 dan pukul 21.29.16 WIB M2,6, sehingga total aktivitas gempa swarm yang terjadi pascagempa magnitudo 3,0 pada Sabtu (23/10) mencapai 36 kali.
Ditinjau magnitudonya, aktivitas gempa swarm Banyubiru, Ambarawa dan sekitarnya didominasi oleh aktivitas gempa kecil dengan magnitudo kurang dari 3,0 sebanyak 30 kali dengan magnitudo terkecil 2,1. Sedangkan gempa dengan magnitudo di atas 3,0 terjadi enam kali dengan magnitudo terbesar 3,5.
Selain kedalaman hiposenter gempanya yang sangat dangkal, efek tanah lunak setempat (loca site effect) di zona swarm Banyubiru, Ambarawa Salatiga dan sekitarnya dapat menyebabkan terjadinya resonansi gelombang gempa, sehingga guncangan gempa kecil terasa lebih kuat oleh warga. [Antara]