Suara.com - Sosiolog Kriminalitas dari Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto menyebutkam bahwa sebagian para pekerja di perusahaan pinjaman online ilegal atau pinjol ilegal adalah korban ketidaktahuan terhadap legalitas dan proses kerja perusahaan.
"Saya berharap pihak pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa sebagian di antara mereka itu adalah korban. Korban dari ketidaktahuan bahwa itu ilegal," kata Soeprapto dihubungi di Yogyakarta, Senin (18/10/2021).
Menurut dia, hingga saat ini tidak banyak pelamar pekerjaan yang mempertanyakan legalitas perusahaan pemberi tawaran lowongan pekerjaan, termasuk pinjol ilegal,
"Saya yakin tidak ada satu pelamar yang mempertanyakan apakah lembaga itu legal atau tidak. Jadi begitu ada lowongan langsung daftar apalagi prosesnya secara online," ucap dia.
Baca Juga: Mahfud MD: Korban Tak Usah Bayar Pinjaman di Pinjol Ilegal
Oleh sebab itu, ia meminta masyarakat tidak serta-merta memojokkan para pekerja yang direkrut perusahaan pinjaman daring ilegal. Selain minim informasi soal legalitas, mereka juga korban ketidaktahuan dari proses kerja perusahaan.
Ia mengaku pernah mewawancarai tujuh orang debt collector berusia 25 hingga 35 tahun di Yogyakarta untuk penelitian. Dua di antaranya bekerja di pinjol ilegal.
Berdasarkan penelitian selama tiga tahun terakhir, dia menyimpulkan setidaknya ada tiga faktor yang memicu generasi muda berusia produktif terjebak pekerjaan pinjol ilegal.
Pertama, mereka menganggap bahwa pekerjaan pinjol sekadar sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan utama, terlebih proses seleksi yang tidak rumit.
Kedua, enggan melakukan pengecekan aspek legalitas perusahaan saat hendak melamar, dan terakhir adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, khususnya di tengah pandemi COVID-19.
Baca Juga: Menkominfo Gandeng Google dan Apple untuk Saring Pinjol Ilegal Beroperasi
"Lapangan pekerjaan makin terbatas, terlebih lagi di masa pandemi ini, mencari mata pencaharian itu tidak mudah jadi mereka lalu terlibat di sana," ujarnya.
Masih berdasarkan penelitiannya, para pekerja pinjaman daring sejatinya tak merasa nyaman dengan metode penagihan menggunakan kalimat kasar atau ancaman. Meski demikian, mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengikuti proses kerja yang telah ditanamkan pimpinan perusahaan.
"Saya sempat mewawancarai para collector itu. Ternyata sebetulnya tidak semuanya merasa nyaman dengan cara itu. Tetapi mereka punya kewajiban mengikuti apa yang didoktrinkan pimpinan," ungkap dia. [Antara]