Suara.com - Badai Matahari yang sangat besar menghantam Bumi pada 11 Oktober lalu, berpotensi mempengaruhi jaringan listrik dan menghasilkan aurora di garis lintang utara.
Lonjakan massa koronal berasal dari Matahari yang disebabkan oleh ledakan besar plasma penghantar listrik.
Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA), memperingatkan kemungkinan terjadinya fluktuasi jaringan listrik yang lemah.
Selain itu juga ketidakteraturan orientasi satelit yang dapat meningkatkan hambatan pada pesawat di orbit rendah Bumi.
Baca Juga: Luhut: NOAA Bantu Indonesia Tangani COVID-19
Badan tersebut menilai badai sebagai kategori G2, yang berarti itu memiliki ledakan yang cukup kuat.
NOAA mengatakan badai terus berlanjut hingga 12 Oktober kemarin.
Meskipun badai ini akan relatif lemah, Bumi belum siap untuk menghadapi badai super yang lebih kuat.
Sebelumnya, pada 15 Mei 1921, kebakaran terjadi di ruang kontrol listrik dan telegraf di beberapa bagian dunia, termasuk di Amerika Serikat dan Inggris karena kekuatan New York Railroad Storm.
Dilansir dari Independent, Rabu (13/10/2021), badai seperti ini terjadi sekali dalam setiap 100 tahun dan dapat menyebabkan "kiamat internet" di mana seluruh jaringan terputus di Bumi.
"Ejeksi Massa Koronal (CME) melibatkan emisi materi bermuatan listrik dan medan magnet yang menyertainya ke luar angkasa," kata Dr Sangeetha Abdu Jyothi dari University of California.
Baca Juga: Gandeng NOAA, BMKG Akan Jadi Organisasi Kelas Dunia
Ketika menghantam Bumi, dia menambahkan, itu berinteraksi dengan medan magnet bumi dan menghasilkan Arus Induksi Geomagnetik (GIC) di kerak bumi.
Meskipun dalam penggunaan kabel internet jarak jauh saat ini, serat optik kebal terhadap GIC.
Tetapi kabel ini juga memiliki repeater bertenaga listrik pada interval sekitar 100 km, yang rentan terhadap kerusakan jika badai Matahari super terjadi.