Suara.com - Ahmet T. Kuru dari San Diego State University di Amerika Serikat melihat NU memprakarsai reformasi citra Islam yang humanis di dunia. Berikut ulasan Kuru:
Setelah kembali berkuasa di Afghanistan, Taliban kembali memaksakan ideologi agama mereka, dengan pembatasan hak-hak perempuan dan tindakan represif lainnya. Mereka menampilkan kepada dunia citra Islam yang intoleran dan bertentangan dengan perubahan sosial.
Namun, Islam memang memiliki banyak interpretasi. Nahdlatul Ulama (NU) - yang merupakan organisasi Islam terbesar, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia, dengan sekitar 90 juta anggota dan pengikutnya - telah menekankan penafsiran tentang kemanusiaan, dengan fokus pada rahmah.
Dalam hal keanggotaan, NU jauh melampaui Taliban, namun wajah Islam ini belum cukup dikenal di panggung internasional.
Baca Juga: Kiai Sepuh Jatim Dorong Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama Digelar Tahun Ini
NU didirikan pada 1926 sebagai reaksi pada penaklukan Saudi atas Mekah dan Madinah dengan ide-ide Wahhabi mereka. NU mengikuti aliran Islam Sunni, sambil memeluk spiritualitas Islam dan menerima tradisi budaya Indonesia.
Pada 2014, NU merespon kebangkitan kelompok Negara Islam (Islamic State atau IS) dan ideologi radikalnya dengan memprakarsai reformasi Islam yang disebut humanisme Islam.
Untuk mendorong reformasi ini, Katib Am Syuriah Pengurus Besar NU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahyatelah mengunjungi beberapa negara dan bertemu dengan para pemimpin agama, akademikus, dan politikus. Saya bertemu dengan Gus Yahya saat ia berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat, Juli lalu.
Tahun lalu, buku saya berjudul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan terbit dan diulas oleh cendekiawan terkemuka, seperti Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Sejak itu saya fokus mempelajari Islam di Indonesia, khususnya Islam humanis yang diprakarsai NU.
Apa isi dari gerakan perubahan ini? Apakah ada hasil praktisnya?
Baca Juga: Nahdlatul Ulama Kutuk Aksi Anarkis di Demo Pembebasan Habib Rizieq
Khilafah, hukum Islam, dan non-Muslim
Selama tujuh tahun terakhir, Gus Yahya telah menyelenggarakan beberapa pertemuan ulama NU. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan deklarasi publik untuk mereformasi pemikiran Islam pada isu-isu kontroversial, termasuk gagasan khilafah, status hukum Islam, dan hubungan Muslim dengan non-Muslim.
Pertama-tama, deklarasi NU menolak gagasan khilafah global atau kepemimpinan politik yang menyatukan seluruh umat Islam. Konsep khilafah telah diterima baik oleh cendikiawan Islam arus utama - seperti kelompok Al-Azhar di Mesir - dan juga oleh kelompok radikal seperti kelompok IS dan al-Qaeda.
Selain itu, deklarasi NU menekankan legitimasi sistem konstitusional dan hukum negara modern, dan dengan demikian menolak gagasan bahwa mendirikan negara berdasarkan hukum Islam adalah kewajiban agama.
Deklarasi ini juga menekankan pentingnya kewarganegaraan yang setara dengan menolak pembedaan antara Muslim dan non-Muslim dalam hukum.
Mereka menyerukan kerja sama yang lebih dalam di antara umat Islam, Kristen, dan pengikut agama lain untuk mempromosikan perdamaian dunia.
NU telah mengambil langkah-langkah praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut. Misalnya, mereka telah menjalin hubungan kerja sama dengan World Evangelical Alliance - yang mengklaim mewakili 600 juta penganut Protestan - untuk mempromosikan solidaritas dan rasa hormat antarbudaya.
Untuk lebih memahami pentingnya perspektif NU dan batas-batasnya, kita perlu menengok konteks di Indonesia.
Islam Toleran Indonesia
Penelitian saya pada 50 negara mayoritas Muslim menunjukkan bahwa Indonesia menonjol karena merupakan satu dari sedikit negara demokrasi di antara negara mayoritas Muslim yang lain. Indonesia juga memiliki populasi Muslim terbesar di dunia - 88% dari 270 juta penduduknya adalah Muslim.
Pilar dasar negara Indonesia, Pancasila pada dasarnya mengacu pada Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Bangsa Indonesia, Demokrasi dan Keadilan Sosial.
Baik NU maupun Muhammadiyah menghormati prinsip-prinsip ini. Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, yang juga memiliki puluhan juta pengikut. Kedua organisasi ini sering bekerja sama melawan kelompok Islam radikal.
Robert Hefner, seorang cendikiawan Amerika di bidang Indonesia, mendokumentasikan dalam bukunya yang terbit tahun 2000 bagaimana NU dan Muhammadiyah memberikan kontribusi penting bagi demokratisasi negara pada akhir 1990-an. Selama proses ini, pemimpin NU Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden pertama Indonesia yang terpilih secara demokratis pada 1999.
Gus Dur, yang meninggal pada 2009, juga meninggalkan warisan agama. Selama penelitian saya, perwakilan NU - seperti Gus Yahya dan Holland Taylor - berulang kali menyebut gagasan reformis Gus Dur sebagai sumber utama inspirasi Islam Kemanusiaan.
Islam intoleran di Indonesia
Tidak semua teori dan praktik Islam di Indonesia toleran terhadap keberagaman. Provinsi Aceh, misalnya, telah menegakkan aturan hukum pidana Islam tertentu, termasuk hukuman cambuk bagi mereka yang menjual atau minum alkohol.
Contoh lain dari intoleransi agama dan politik adalah hukum penistaan agama, yang mengirim Gubernur Jakarta yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama, ke penjara selama 20 bulan pada 2017-2018 akibat pernyataan tentang sebuah ayat dalam Al-Qur'an.
Pada Januari 2021, kisah seorang siswa perempuan Kristen yang dipaksa oleh kepala sekolah untuk mengenakan jilbab menjadi viral di Facebook. Dua minggu setelahnya, pemerintah Indonesia menanggapi kejadian itu dengan sebuah keputusan untuk melarang sekolah negeri mewajibkan pakaian keagamaan apa pun.
Singkatnya, ada tarik-menarik antara interpretasi Islam intoleran dan toleran di Indonesia. Bahkan di dalam NU, ada perbedaan pendapat antara para konservatif dan reformis.
Meski demikian, reformis NU menjadi lebih berpengaruh. Salah satu contohnya adalah Menteri Agama saat ini, Yaqut Cholil Qoumas, seorang tokoh NU dan adik dari Gus Yahya. Dia adalah salah satu dari tiga menteri yang menandatangani keputusan bersama yang melarang kewajiban seragam keagamaan pada siswa pada Februari.
Gerakan Islam Kemanusiaan NU mungkin penting untuk mempromosikan toleransi di antara pemeluk Islam di Indonesia. Tapi apakah hal ini bisa selaras dengan kondisi di luar Indonesia?
Mempengaruhi Timur Tengah
Jika ingin berdampak global, penting bagi NU untuk memfokuskan penerimaan gerakan reformasi ini di Timur Tengah, sebagai pusat sejarah Islam.
Islam Kemanusiaan sebagian besar telah diabaikan oleh para sarjana dan pemerintah negara-negara Timur Tengah seperti Turki, Iran, Mesir, dan Arab Saudi, yang umumnya melihatnya sebagai pesaing atas upaya mereka untuk mempengaruhi dunia Muslim.
Sebagai inisiatif non-pemerintah, Islam Kemanusiaan berbeda dengan upaya Timur Tengah untuk membentuk dunia Muslim yang sebagian besar merupakan skema yang dipimpin oleh aktor-aktor pemerintah.
Dengan penekanan pada perubahan, Islam Kemanusiaan dapat menarik beberapa pemuda Muslim Timur Tengah yang tidak puas dengan interpretasi politik dan konservatif negara mereka terhadap Islam.
Untuk menjangkau masyarakat di Timur Tengah, gerakan Islam Kemanusiaan meluncurkan versi bahasa Arab di situs web mereka yang berbahasa Inggris.
Masih belum terlihat apakah inisiatif ini dapat berdampak di Timur Tengah dan menjadi gerakan reformasi Islam yang benar-benar global.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.