AJI: Pasal yang Ancam Kebebasan Pers Harus Dihapus di RUU KUHP dan RUU ITE

Selasa, 05 Oktober 2021 | 23:28 WIB
AJI: Pasal yang Ancam Kebebasan Pers Harus Dihapus di RUU KUHP dan RUU ITE
Aliansi Jurnalis Independen. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP dan RUU ITE.

Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan sejumlah pasal dalam kedua RUU tersebut membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan.

Antara lain, kata Sasmito, yang mengatur soal tindakan-tindakan seperti "menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum”.

"Kita tahu bahwa semua tindakan itu merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu menginformasikan kepada khalayak luas. Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari," ujar Sasmito, Selasa (5/10/2021).

Baca Juga: Peneliti BRIN Dorong Pemerintah Ajukan Uji Materi UU ITE

Desakan AJI menyusul DPR yang telah menyetujui empat rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada rapat paripurna, Kamis (30/9/2021). Dua di antaranya adalah RUU KUHP dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

RUU KUHP merupakan satu dari sejumlah RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapatkan protes besar dari masyarakat sipil dan mahasiswa pada September 2019. Protes terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dan memakan korban setidaknya lima mahasiswa meninggal.

Sasmito mengatakan AJI mencatat terdapat lebih dari dua puluh pasal yang mengancam kebebasan pers dan dapat mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya, serta mengancam demokrasi.

Di antaranya Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; dan Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

"Sedangkan UU ITE masih menjadi momok kekerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia," ucap dia.

Baca Juga: Revisi UU ITE Masuk Prolegnas Prioritas 2021

Koalisi Serius Revisi UU ITE yang merupakan kolaborasi 24 organisasi masyarakat sipil termasuk AJI, kata Sasmito menganalisis bahwa ada 8 pasal bermasalah yang membelenggu ruang kebebasan berekspresi.

Pertama, Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau pencemaran nama baik. Pasal ini menjerat Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin pad 24 Agustus 2020 dan Tuah Aulia Fuadi, jurnalis Kontra.id di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Kedua, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.

"Jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi, divonis 3 bulan 15 hari penjara karena beritanya berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel, dinilai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan," tuturnya.

Ketiga, Pasal 40 ayat (2b). Sasmito menuturkan pasal tersebut memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

"Pasal ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers dan menunggu putusan majelis hakim," kata dia.

Tak hanya itu, Sasmito menuturkan AJI Indonesia juga mendesak DPR dan pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat dan transparan dalam pembahasan RUU KUHP dan RUU ITE.

Pelibatan publik kata Sasmito merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi. Selama ini, pelibatan masyarakat hanya bersifat ceremonial belaka dan tidak diberikan waktu yang cukup dalam memberi masukan.

Akibatnya komunikasi terkait pembahasan RUU menjadi satu arah, tanpa ada timbal balik dari masyarakat.

"Ini seperti kegiatan penyempurnaan RUU KUHP yang digelar pemerintah di Jakarta pada 14 Juni 2021 lalu yang tidak memberikan waktu kepada masyarakat untuk memberikan masukan. Bahkan lima mahasiswa meninggal dalam aksi protes September 2019 karena aspirasi mereka tidak didengarkan DPR dan pemerintah," ucap Sasmito.

Lanjut Sasmito, AJI Indonesia juga mendorong penguatan etika jurnalis. Sejumlah ketentuan dalam RUU KUHP yang menyentuh persoalan etika, misalnya tentang kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 263).

Pasal tersebut berbenturan dengan isi dalam UU Pers (Pasal 15) yang menghendaki agar narasumber yang merasa liputan media tidak benar, menggunakan hak jawabnya.

Berdasarkan UU Pers, media wajib membuat hak jawab dari narasumber, sementara RUU KUHP tidak mengakomodasi mekanisme pemberian hak jawab ini.

Pasal lain yang tidak sesuai dengan UU Pers kata Sasmito adalah pasal mengenai pemberitaan terhadap suku, golongan atau agama.

"Dalam menghadapi masalah ini, UU Pers lebih mengedepankan penyelesaian sengketa lewat jalan mediasi (hak jawab atau Dewan Pers) bukan dengan hukuman pidana, sebab delik pers yang berkaitan dengan masalah ini seharusnya ditempatkan sebagai masalah etika, bukan malah ditempatkan sebagai sebuah kejahatan," pungkas dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI