Suara.com - Studi terbaru Joko Mulyanto, dosen Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas, Universitas Jenderal Soedirman menunjukkan kesenjangan akses kesehatan di Indonesia masih tinggi. Berikut paparan Joko:
Kesenjangan akses layanan kesehatan di Indonesia masih tinggi walau negara menyediakan layanan Jaminan Kesehatan Nasional, termasuk subsidi iuran bulanan bagi kelompok miskin sejak tujuh tahun terakhir .
Makin rendah sekolah dan pendapatan penduduk, maka kian meningkat kesulitan mereka dalam mengakses layanan kesehatan di negeri ini.
Riset terbaru saya di Indonesia, dengan memakai data lebih dari 42 ribu orang dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia 2014, menunjukkan tingginya tingkat kesenjangan akses layanan kesehatan antarkelompok masyarakat berdasarkan pendidikan dan pendapatan.
Baca Juga: 27 Dokter Spesialis di RSUD Ketapang Mogok Kerja, Gegara Tukin Tak Cair 6 Bulan
Gap terbesar terjadi pada penggunaan layanan kesehatan sekunder (rawat jalan dokter spesialis dan rawat inap di rumah sakit) dan layanan preventif (skrining dan medical check-up untuk penyakit kardiovaskuler).
Contohnya ada keluhan kesehatan yang membutuhkan pelayanan dokter spesialis, maka individu dari kelompok masyarakat berpendidikan tinggi (minimal S1) menggunakan pelayanan tersebut sepuluh kali lebih banyak dibanding individu dari kelompok masyarakat yang tidak lulus SD.
Sementara, individu dari kelompok terkaya (pendapatan per kapita Rp 4 juta per bulan) menggunakan pelayanan rawat inap di rumah sakit tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan individu dari kelompok termiskin (pendapatan Rp 230 ribu per bulan).
Hak atas layanan kesehatan yang tersendat
Akses layanan kesehatan yang berkualitas merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi Indonesia. Karena itu, akses layanan kesehatan harus dapat dinikmati secara adil oleh seluruh penduduk.
Baca Juga: Duh, Insentif Nakes di Bogor hanya Dibayar Setengah Gara-gara Ini
Ini berarti, setiap individu yang membutuhkan harus bisa mengakses layanan kesehatan tanpa memandang status sosial ekonomi, wilayah geografis, etnis, maupun agama.
Jika individu miskin maupun kaya mempunyai penyakit yang sama, maka keduanya berhak mendapatkan terapi medis yang sama. Jika tidak, maka hal ini melanggar prinsip keadilan dalam layanan kesehatan. Ini disebut sebagai ketimpangan (inequality) dalam akses layanan kesehatan.
Selain dianggap tidak adil, kesenjangan akses layanan kesehatan akan mengakibatkan penanganan berbagai masalah kesehatan semakin sulit. Sebab, hanya sebagian kecil kelompok masyarakat (umumnya kelompok menengah keatas) yang memiliki derajat kesehatan yang baik.
Kesenjangan akses layanan kesehatan antarkelompok masyarakat merupakan permasalahan global. Fenomena ini bahkan dijumpai di Uni Eropa yang sudah mencapai pelayanan kesehatan universal (universal health coverage/UHC), meski dengan tingkatan yang relatif kecil.
Bagi banyak negara berkembang yang belum mencapai UHC, tingkat ketimpangan itu akan lebih tinggi–termasuk di Indonesia. Namun demikian, belum banyak studi yang menggambarkan tingkat kesenjangan akses layanan kesehatan antar-kelompok masyarakat di negara berkembang. Riset saya mengisi kelangkaan studi topik ini.
Salah satu kesenjangan akses layanan kesehatan terbesar ditemukan pada layanan kesehatan preventif. Misalnya pada pemeriksaan gula darah sebagai skrining Diabetes Mellitus. Individu dari kelompok pendidikan tinggi melakukan pemeriksaan glukosa darah 30 kali lebih sering dibandingkan kelompok yang tidak bersekolah.
Berbeda dengan layanan kesehatan sekunder, layanan kesehatan primer (dokter umum, puskesmas, klinik pratama) mempunyai tingkat kesenjangan akses yang jauh lebih kecil. Individu dari kelompok berpendidikan tinggi menggunakan layanan kesehatan primer 1,1 kali lebih sering (hanya 10% lebih besar) dibandingkan dengan individu dari kelompok tidak bersekolah.
Empat faktor
Tingginya tingkat kesenjangan akses layanan kesehatan di Indonesia untuk layanan sekunder diduga disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, jumlah sumber daya (dokter spesialis dan rumah sakit) yang tidak memadai. Saat ini, baru ada 14 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Jumlah itu jauh di bawah standar WHO yang menetapkan 100 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Selain itu, distribusi dokter spesialis tersebut tidak merata secara geografis.
Fasilitas pelayanan kesehatan sekunder umumnya terpusat di daerah perkotaan. Keadaan ini menghambat akses masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah yang umumnya tinggal di perdesaan. Sebab, mereka membutuhkan biaya non-medis seperti biaya transportasi dan juga mempertimbangkan biaya peluang atau opportunity costs (akibat pendapatan yang hilang karena waktu bekerja digunakan untuk berobat di fasilitas kesehatan sekunder).
Meski biaya medis masyarakat miskin sudah dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tapi biaya non-medis yang besar akan mengurangi kemampuan mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan.
Kedua, sistem rujukan yang rumit secara administratif. Kelompok masyarakat miskin dan berpendidikan rendah pada umumnya belum memahami sistem rujukan yang menjadi syarat dalam mengakses pelayanan kesehatan sekunder program JKN. Hal ini membuat aksesibilitas mereka menjadi lebih rendah.
Ketiga, literasi kesehatan yang rendah pada kelompok masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Hal ini mengakibatkan individu tak mampu memahami manfaat penggunaan layanan sekunder dan preventif yang diperlukan sehingga penggunaan dua layanan tersebut pada kelompok ini relatif rendah.
Faktor terakhir, program layanan kesehatan preventif yang sudah dijalankan masih belum efektif dan kurang mendapatkan prioritas.
Tanpa adanya sebuah program kesehatan preventif (seperti deteksi dini penyakit tidak menular dan kanker) yang bersifat nasional dan sistemik, penggunaan layanan kesehatan preventif lebih bergantung pada inisiatif perorangan.
Sementara, individu yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan ini dan umumnya didominasi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas.
Kurangi hambatan finansial dan geografis
Tingkat kesenjangan akses layanan kesehatan antarkelompok masyarakat yang besar untuk layanan kesehatan sekunder dan preventif perlu segera diatasi dengan menghilangkan hambatan akses dari sisi finansial maupun geografis.
Pemerintah harus memperluas cakupan program JKN yang saat ini mencapai sekitar 81% untuk mencapai layanan kesehatan universal. Harapannya, program ini dapat mengatasi hambatan finansial masyarakat dalam hal biaya medis ketika mengakses layanan kesehatan.
Pemerintah pun harus mengubah kebijakan untuk pemerataan distribusi dokter spesialis dan fasilitas kesehatan sekunder. Hal itu dapat mempermudah masyarakat menengah ke bawah ketika mengakses layanan kesehatan.
Sementara, untuk mengatasi hambatan administratif masyarakat miskin dalam mengakses layanan kesehatan, pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu memperbaiki sistem rujukan. Sistem rujukan dengan hanya menggunakan kartu BPJS tanpa syarat dokumen administratif tambahan akan sangat membantu masyarakat miskin dan berpendidikan rendah untuk menggunakan layanan kesehatan sekunder.
Penguatan layanan kesehatan primer juga harus dilakukan Kementerian Kesehatan keberadaannya yang cukup merata sampai daerah perdesaan. Layanan primer yang kuat dapat menjadi motor utama bagi terlaksananya program layanan kesehatan preventif secara nasional.
Layanan kesehatan primer yang berkualitas pun dapat menyelesaikan sebagian besar permasalahan kesehatan di masyarakat beban layanan sekunder. Hal ini akan berkontribusi pada pengurangan kesenjangan akses layanan kesehatan sekunder antarkelompok masyarakat.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.