Suara.com - Sebuah laporan baru mengatakan bahwa ada peningkatan kejahatan siber melalui Telegram. Peningkatan itu terjadi setelah banyak pengguna yang beralih ke Telegram karena kebijakan WhatsApp.
Laporan ini dideteksi oleh Financial Times dan kelompok intelijen siber, Cyberint. Mereka menyebut bahwa ada peningkatan 100 persen pada penggunaan Telegram untuk kejahatan siber.
Dikutip dari Engadget, Senin (20/9/2021), hal ini disebabkan lantaran banyak pengguna yang ramai-ramai beralih dari WhatsApp ke Telegram setelah perubahan kebijakan privasi.
Saat itu, WhatsApp memaksa pengguna agar menerima kebijakan baru, di mana percakapan mereka bisa dibaca oleh perusahaan pusat, Facebook.
Baca Juga: Soal Telegram Kapolri, Anggota DPR: Tak Boleh Ada Lagi Polisi Represif
Kebijakan ini akhirnya membuat pengguna WhatsApp protes dan ramai-ramai mengancam untuk pindah platform pesan lain seperti Telegram dan Signal.
Meskipun pada akhirnya, WhatsApp memberikan klarifikasi bahwa Facebook tetap tidak bisa membaca isi percakapan.
Para peneliti itu menemukan terdapat jaringan besar peretas yang membagikan dan menjual data di channel yang berisikan puluhan ribu anggota.
Frekuensi 'email;pass' dan 'combo' disebut dalam aplikasi setahun terakhir dan meningkat empat kali lipat.
Kemudian sejumlah dump data yang beredar di aplikasi berisi 300 ribu hingga 600 ribu kombinasi email dan password untuk game dan layanan email.
Baca Juga: Soroti TR Kapolri, Komnas HAM Berharap Tak Ada Lagi Warga Ditangkap saat Ngeluh ke Jokowi
Bahkan, hacker tersebut juga menjual informasi keuangan seperti nomor kartu kredit, salinan paspor, hingga alat yang digunakan untuk melakukan peretasan (hack).
"Layanan pesan terenkripsi makin populer di kalangan pelaku kejahatan siber yang melakukan penipuan dan menjual data curian. Sebab itu lebih nyaman digunakan ketimbang dark web," kata Tal Samra selaku Analis Ancaman Siber di Cyberint.
Samra melanjutkan, selain lebih nyaman, Telegram juga cenderung tidak diawasi oleh pihak berwenang.
FT kemudian memberitahu Telegram soal masalah ini. Setelahnya, perusahaan akhirnya menghapus channel yang berisi kumpulan big data dengan email dan password.
Telegram turut menyebut bahwa mereka memiliki kebijakan menghapus data pribadi yang dibagikan tanpa persetujuan.
Mereka juga mengklaim bahwa perusahaan terus menambah moderator profesional untuk mengawasi aplikasinya.