Suara.com - Novi Kurnia, dosen pada Departemen Ilmu Komunikasi UGM, membeberkan tentang risiko kebocoran data pribadi serta cara untuk mengantisipasinya. Berikut ulasannya:
Pada bulan Mei 2021, masyarakat heboh akibat dugaan kebocoran data pribadi dari layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan milik 279 juta penduduk – salah satu kasus kebocoran data terbesar di Indonesia.
Beberapa data yang bocor termasuk Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama dan alamat lengkap, hingga nomor telepon. Sebagai pengelola, BPJS Kesehatan bahkan kabarnya hendak digugat lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena kasus tersebut.
Kasus ini menyusul rentetan kasus kebocoran data yang sebelumnya sudah sering terjadi.
Pada tahun 2020 saja, di Indonesia tercatat 7 kasus kebocoran data pribadi – dari data layanan belanja online seperti Tokopedia, Bhinneka.com, dan Shopback, data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2014, hingga layanan finansial Kreditplus dan Cermati.
Data pribadi ini bisa dimanfaatkan pihak peretas maupun dijual ke forum gelap untuk berbagai modus kejahatan siber.
Apa saja risikonya, dan bagaimana cara mengantispasinya?
Risiko kebocoran data pribadi
Dalam konsep keamanan siber, kita mengenal dua jenis data yang berharga yakni “identitas digital” dan “data pribadi”.
Baca Juga: Jelang Presidensi G20, Indonesia Perlu Punya Badan Perlindungan Data Pribadi Independen
Identitas digital merupakan identitas seseorang sebagai pengguna platform digital – dari identitas yang nampak seperti nama akun, foto, maupun deskripsi pengguna, hingga yang tidak nampak termasuk kata sandi (password) dan kode One Time Password (OTP).