Suara.com - Salah satu bentuk kecintaan kita kepada negara, dapat ditunjukkan melalui mempelajari sejarah bangsa dan negara kita. Salah satu bukti peninggalan sejarah yang perlu untuk ditauladani adalah Kitab Sutasoma. Nah, seperti apa sejarah Kitab Sutasoma itu sendiri?
Kitab Sutasoma adalah sebuah karya sastra yang dikarang oleh seorang sastrawan bernama Mpu Tantular pada abad ke-14. Ingin tahu lebih jauh tentang isi dan sejarah Kitab Sutasoma?
Simak ulasan di bawah! Berikut adalah ulasan tentang sejarah dan makna yang terkandung dalam Kitab Sutasoma.
Sejarah Kitab Sutasoma
Baca Juga: Sosok Ashin Jinarakkhita, Biksu Buddha Pertama di Indonesia
Kitab Sutasoma menjadi sebuah karya sastra yang ditulis pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Tepatnya ketika Prabu Hayam Wuruk memimpin.
Diperikaran ‘Kakawin Sutasoma’ atau Kitab Sutasoma ditulis Mpu Tantular antara tahun 165 dan 1389. Karya ini berisikan tentang kehidupan sang Pangeran Sutasoma yang dimana dalam setiap bait yang dituliskannya juga mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan seperti toleransi beragama, terlebih antara Buddha dan Hindu.
Naskah kitab yang dituliskan menggunakan aksara Bali dalam bahasa Jawa kuno. Kitab Sutasoma dibuat dengan bahan dasar daun lontar, dengan ukuran 40,5 x 3,5 cm.
Kitab Sutasoma tersusun dari 1.210 bait dalam 148 pupuh. Sutasoma berusia lebih muda satu tahun dibanding dengan Kitab Negarakertagama yang penulisannya selesai pada tahun 1365.
Baca Juga: Geger Tukang Pasir Temukan Mahkota Kerajaan Majapahit Seberat 2 Kilogram
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap kitab kuno pasti berisikan tentang perjalanan hidup seorang tokoh yang nantinya dapat ditauladani oleh para generasi penerusnya, begitu pula dengan Kitab Sutasoma. Kitab Sutasoma menceritakan tentang usaha Pangeran Sutasoma yang menjalani kehidupannya sebagai titisan Sang Hyang Buddha dalam menegakkan dharma.
Sutasoma merupakan sorang putra dari Prabu Mahaketu, raja kerajaan Astina. Dalam perjalanan hidupnya ia lebih tertarik untuk memperdalam ajaran Buddha dibandingkan harus mengemban tugas sebagai penerus ayahnya untuk menjadi raja, tibalah malam dimana sang pangeran memtuskan untuk melakukan semedi pada pegunungan Himalaya.
Selama ia menjani pencarian jati dirinya tersebut Sutasoma kerap kali dihadapapkan pada beberapa ujian, seperti melawan raksasa dengan kepala gajah, raksasa pemakan daging manusia, ular naga, harimau betina. Beberapa kejadian tersebut merupakan ujian yang harus dilalui oleh sang pangeran untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Perjalanan terus berlanjut sampai Sutasoma bertemu dengan sepupunya yang bernama Prabu Dasabahu yang sedang berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada. Pasukan Prabu Kalmasapada kalah dan meminta pertolongan kepada Sutasoma.
Menyadari bahwa yang dilawan Prabu Dasabahu adalah sang sepupu membuatnya untuk mengurungkan niat perang. Ia justru membawa Pengeran Sutasoma untuk diajak ke negerinya dan dijadikan sebagai ipar. Saat kembali ke Astina, Sutasoma diberikan gelar raja dengan gelar Prabu Sutasoma.
Bhinneka Tunggal Ika
Rwaneka dhatu winuwus
Buddha Wiswa
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Bait di atas merupakan kutipan dalam Kitab Kakawin Sutasoma tepatnya pada pupuh 139 bait 5. Kata-kata tersebutlah yang juga digunakan oleh pendiri bangs akita dalam merumuskan semboyan negara yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.
Bait tersebut menceritakan bahwa perbedaan yang terjadi antara Buddha dan Siwa bukanlah sebuah halangan untuk tetap saling mengasihi. Sedangkan kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal.
Maka jika diartikan secara setiap kata akan muncul makna "Bhinneka" yang bermakna ragam dan ika bermakna satu, kemudian jika digabungkan akan muncul makna meskipun berbeda-beda namun tetap satu.
Demikian adalah ulasan tentang sejarah dan makna yang terkandung di dalam kita Sutasoma, semoga bermanfaat.
Kontributor : Dhea Alif Fatikha