Suara.com - Penelitian terbaru diterbitkan di New England Journal of Medicine, mengungkapkan bahwa para ahli telah menemukan pencegahan malaria dengan antibodi buatan.
Studi menyebut, satu dosis antibodi monoklonal baru yang ditemukan dan dikembangkan di National Institutes of Health (NIH), mungkin cukup untuk melindungi orang dari infeksi malaria selama hampir satu tahun.
Malaria adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Penderitanya akan mengalami demam, sakit kepala, kejang, dan dalam kasus serius bisa menyebabkan koma atau kematian.
Antibodi monoklonal merupakan salinan antibodi, yaitu protein yang melawan bakteri dan virus asing.
Baca Juga: Ilmuwan Sebut Varian Mematikan Lambda Kebal Vaksin?
Antibodi monoklonal telah disetujui untuk penggunaan darurat pada penyakit inflamasi, kanker, dan infeksi virus.
Penelitian tahap awal NIH melibatkan 40 orang dewasa sehat dan menguji apakah antibodi monoklonal, yang disebut CIS43LS, dapat memberikan perlindungan tingkat tinggi dari infeksi malaria.
Studi tersebut melihat efek dari paparan nyamuk yang membawa parasit bernama Plasmodium falciparum, protozoa penyebab malaria.
Sebanyak 15 relawan terkena gigitan nyamuk, namun tidak satu pun dari sembilan peserta yang menerima CIS43LS mengembangkan malaria, dibandingkan dengan lima dari enam peserta yang tidak menerima antibodi.
Perlindungan ini juga diperkirakan berlangsung hingga lebih dari enam bulan, dengan satu peserta memiliki perlindungan selama sembilan bulan.
Baca Juga: Swiss Sentil China karena Pakai Ilmuwan Palsu untuk Hadang Berita Covid-19
Meski begitu, studi ini masih terlalu sempit untuk dapat mencapai kesimpulan konkret karena hanya melibatkan 40 orang.
Tetapi, para ilmuwan terkesan dengan temuan ini karena membuka gerbang untuk mencegah penyakit mematikan itu.
"Antibodi monoklonal dapat mewakili pendekatan baru untuk mencegah malaria pada pelancong, personel militer, dan petugas kesehatan yang bepergian ke daerah endemik malaria," kata Robert Seder, kepala Bagian Imunologi Seluler dari Laboratorium Imunologi Pusat Penelitian Vaksin NIH.
Penelitian lebih lanjut akan menentukan apakah antibodi monoklonal juga dapat digunakan untuk pengendalian malaria musiman di Afrika.
Dilansir dari New York Post, Jumat (13/8/2021), Plasmodium falciparum terkenal memiliki resistensi tinggi terhadap obat antimalaria, karena itu pencegahan malaria sangat sulit dilakukan.
Namun, dengan adanya antibodi monoklonal, Plasmodium falciparum tidak dapat bermutasi dengan cara menghindari antibodi.
Dengan kata lain, antibodi mungkin tetap efektif untuk beberapa waktu.
Saat ini, para ahli sedang mengembangkan antibodi monoklonal baru yang memiliki ketahanan dua hingga tiga kali lebih kuat.
Hasil uji coba tahap menengah yang lebih besar untuk menilai efektivitas CIS43LS selama musim malaria di Mali diharapkan akan keluar tahun depan.