Ini akan menimbulkan masalah definisi baru yang bersifat “karet”, karena idealnya definisi golongan adalah sebuah identitas yang dibawa dan melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang mudah berubah seperti profesi.
Menurut saya, SKB ini adalah pedoman yang harus menjadi transisi menuju revisi UU ITE. Revisi undang-undang tetap harus menjadi solusi utama atas carut-marut UU ITE ini.
Pemerintah sendiri telah memutuskan akan merevisi beberapa pasal dan menambah satu pasal.
Pasal-pasal bermasalah ini adalah pasal-pasal tindak pidana dalam UU ITE.
Idealnya untuk menghindari pengaturan ganda soal tindak pidana, revisi UU ITE dan revisi KUHP bisa berjalan beriringan.
Dengan mengeluarkan SKB, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa pasal-pasal ini bermasalah baik dari segi bahasa perundang-undangan maupun dalam penegakannya – kalau tidak, tentu SKB tidak diperlukan.
Ketentuan yang sudah baik dalam SKB perlu dipertegas dalam revisi UU ITE nanti. UU ITE yang baru nanti harus memenuhi beberapa syarat antara lain kejernihan atau kejelasan pengertian dan kelugasan.
Lebih lanjut, ada beberapa hal lain yang perlu diatur juga dalam revisi UU ITE nantinya, misalnya penghapusan sanksi pidana atas perbuatan pencemaran nama baik dan pemulihan reputasi bagi mereka yang sudah menderita kerugian akibat pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.
Baca Juga: Klarifikasi Kemenko Polhukam Soal SKB Pedoman Implementasi UU ITE Diteken Diam-diam
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.