Pemerasan atau ancaman yang dimaksud bersifat memaksa, yang bertujuan menguntungkan diri sendiri secara ekonomis, untuk memberikan suatu barang, membuat utang, menghapus piutang kepunyaan orang yang diancam.
Kelima, pedoman Pasal 28 ayat (1) mengenai kabar bohong yang merugikan konsumen, bahwa pasal ini bukan pemidanaan untuk hoaks, namun, perdagangan daring. Pasal ini berkaitan dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Keenam, Pasal 28 ayat (2) tentang konten yang menyebarkan kebencian berdasarkan SARA, aparat harus bisa membuktikan pengiriman konten tersebut mengajak atau menghasut masyarakat untuk memusuhi individu atau kelompok tertentu.
Ketujuh, pedoman Pasal 29 tentang konten menakut-nakuti dengan kekerasan, bahwa pemidanaan dilakukan terhadap perbuatan pengiriman informasi berisi ancaman yang berpotensi diwujudkan dan menunjukkan niat untuk mencelakai korban dengan melakukan kekerasan secara fisik atau psikis.
Penanganan pasal harus didukung saksi yang menunjukan fakta bahwa korban mengalami ketakutan/tekanan psikis.
Terakhir, pedoman Pasal 36 tetang pemberatan sanksi akibat kerugian yang ditimbulkan karena tindak pidana UU ITE. Kerugian yang diatur adalah kerugian materiil dengan nilai yang harus dihitung dan ditentukan pada saat pelaporan.
Sementara itu, nilai kerugian material merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
Pedoman Implementasai atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU ITE ini, menurut Johnny, mendukung penegakan UU ITE, selaku ketentuan khusus dari norma pidana/lex specialis, yang mengedepankan penerapan restorative justice sehingga penyelesaian permasalahan UU ITE dapat dilakukan tanpa harus menempuh mekanisme peradilan.
Upaya ini perlu dilakukan untuk menguatkan posisi ketentuan peradilan pidana sebagai ultimum remidium, atau pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan hukum.
Baca Juga: Menkominfo: Gelar Internet 5G di Indonesia Bisa Dorong Lompatan Inovasi Digital