Suara.com - Ilmuwan di Inggris mengembangkan alarm yang diklaim mampu mendeteksi virus Corona (Covid-19).
Alarm tersebut dipasang di langit-langit ruangan dan memindai siapa pun yang terinfeksi Covid-19 hanya dalam waktu 15 menit.
Perangkat yang berukuran sedikit lebih besar dari alarm asap itu, dapat bermanfaat untuk mendeteksi seseorang yang terpapar di kabin pesawat, ruang kelas, rumah perawatan, hingga kantor.
Studi awal yang dilakukan oleh para ahli di London School of Hygiene and Tropical Medicine dan Durham University memberikan hasil yang menjanjikan.
Baca Juga: Jangan Salah Pilih, Jenis Nada Alarm Ini Berisiko Alami Inersia Saat Bangun Tidur
Tim menunjukkan bahwa perangkat tersebut memiliki tingkat akurasi 98-100 persen, membuatnya dapat diandalkan seperti tes Covid-19 berbasis lab PCR dan jauh lebih baik daripada tes aliran lateral cepat.
Dilansir dari Mirror, Senin (14/6/2021), sensor alarm yang dibuat perusahaan Cambridgeshire Roboscientific itu bekerja dengan mendeteksi bahan kimia yang diproduksi oleh kulit atau terkandung dalam napas seseorang yang terinfeksi Covid-19.
Senyawa organik mudah menguap ini, menciptakan bau yang tidak dapat diendus oleh hidung manusia.
Studi lainnya menunjukkan bahwa senyawa tersebut dapat dideteksi oleh anjing, tetapi tim ahli mengklaim bahwa alarm akan lebih akurat dan praktis.
The Sunday Times melaporkan, detektor dapat menemukan orang yang terpapar virus bahkan jika orang tersebut belum menunjukkan gejala. Ini membuatnya lebih efektif daripada tes PCR.
Baca Juga: Hi... Seram! Ilmuwan Hidupkan Kembali Zombie Berusia 24 Ribu Tahun
Alarm membutuhkan waktu 15-30 menit bagi sistem untuk mengambil sampel udara di sekitar ruangan dan hasilnya akan langsung dikirim ke ponsel atau komputer.
Saat ini, masing-masing sensor menelan biaya sekitar 5.000 poundsterling atau sekitar Rp 100 juta.
Alarm ini mungkin dapat membantu mendeteksi seseorang yang terpapar tanpa gejala lebih baik.
Di sisi lain, Boris Johnson mengisyaratkan mungkin akan menunda pencabutan pembatasan yang ditetapan pada 21 Juni.
Para ilmuwan memperingatkan kasus harian bisa melonjak menjadi 100.000 kasus pada bulan depan.
Sekitar 90 persen infeksi baru sekarang berasal dari varian Delta. Dalam sebuah jejak pendapat, sebanyak 54 persen publik mendukung penundaan tersebut, sementara 37 persen lainnya menentang.