Suara.com - Ancaman perubahan iklim semakin nyata setelah hancurnya lukisan batu kuno pada dinding-dinding gua di Sulawesi, Indonesia.
Salah satu lukisan menunjukkan babi Sulawesi berumur setidaknya 45.500 tahun.
Ini adalah situs seni gua tertua yang pernah diketahui, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga dunia.
Sejak 1950-an, para arkeolog telah mengamati lukisan-lukisan ini tampak melepuh dan terkelupas dari dinding gua. Namun, tidak diketahui dengan jelas apa penyebabnya.
Baca Juga: Semuanya Serba Tercemar, Begini Gambaran Dampak Perubahan Iklim pada 2050
Penelitian pada 14 Mei menyelidiki mekanisme pembusukan yang mempengaruhi panel seni batu purba di 11 situs di wilayah Maros-Pangkep Sulawesi.
Para ahli menemukan kerusakan menjadi lebih buruk dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini terkait dengan percepatan perubahan iklim.
Survei yang sedang berlangsung di seluruh Australasia, yang meliputi Australia utara, Papua Nugini, dan Indonesia, menemukan situs seni lukisan batu pada gua baru setiap tahun.
Hingga saat ini, lebih dari 300 situs telah didokumentasikan di lanskap Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan adalah beberapa bukti paling awal yang dimiliki bahwa orang-orang purba hidup di pulau-pulau ini.
Baca Juga: Menteri LHK dan Menteri KKP Kolaborasi untuk Blue Carbon Bermutu
Tragisnya, di hampir setiap situs baru yang ditemukan di kawasan tersebut, seni batu dalam tahap lanjut pembusukan.
Untuk menyelidiki mengapa karya seni prasejarah ini membusuk, tim ahli mempelajari beberapa seni lukisan dinding gua tertua yang diketahui di wilayah Maros-Pangkep, secara ilmiah berusia antara setidaknya 20.000 dan 40.000 tahun.
Para ahli menggunakan kombinasi teknik ilmiah, termasuk menggunakan mikroskop berdaya tinggi, analisis kimiawi, dan identifikasi kristal untuk mengatasi masalah tersebut.
Analisis mengungkapkan bahwa garam yang dihasilkan di atas dan di belakang seni batu tersebut dapat menyebabkannya mengelupas.
Garam disimpan pada permukaan batuan melalui air yang diserapnya. Ketika larutan air menguap, kristal garam terbentuk.
Kristal garam kemudian membengkak dan menyusut saat lingkungan memanas dan mendingin, menghasilkan dampak buruk pada batuan.
Dalam beberapa kasus, itu dapat membuat permukaan batu hancur menjadi bubuk. Saat Bumi memanas, garam bisa dihasilkan lebih dari tiga kali lipat.
Iklim yang ekstrem dapat mendorong pertumbuhan kristal garam yang dapat merusak seni batu gua karena meningkatnya kelembapan di seluruh wilayah.
Dilansir dari Science Alert, Selasa (18/5/2021), penelitian ini memperjelas bahwa pemanasan global adalah ancaman terbesar bagi pelestarian seni batu gua kuno di daerah tropis.
Para ahli berpendapat sangat perlu mendokumentasikan seni batu gua yang tersisa dengan sangat detail, seperti dengan pemindaian 3D, sebelum batuan tersebut hilang akibat perubahan iklim.