Suara.com - Anggota Komisi III DPR RI dari Partai Gerindra, Habiburokhman menilai tidak cukup apabila revisi UU ITE atau UU nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan secara minor, seperti yang diinginkan pemerintah.
"Kalau pemerintah merasa minor perbaikan terhadap UU ITE, kami merasa tidak cukup. Pasal 28 ayat 2 yang junto 45 ayat 2, menurut saya sangat bermasalah terutama kata antar-golongan dan konsep SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan)," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (30/4/2021).
Dia menilai definisi antar-golongan dalam UU ITE tersebut tidak jelas, karena kalau dulu acuannya adalah golongan timur-asing dan pribumi, namun saat ini definisi tersebut tidak ada lagi sehingga dikhawatirkan dibelokkan menjadi menghina pemerintah.
"Kalau pasal 28 itu tidak dicabut maka dikurangi masa hukumannya menjadi dibawah lima tahun agar tidak ada upaya paksa penahanan atau dihilangkan unsur antar-golongan," ujarnya.
Baca Juga: Mahfud MD: Dunia Digital Semakin Jahat, UU ITE Tak Dicabut
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah tidak akan mencabut UU ITE karena masih diperlukan.
"Undang-Undang ITE masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghukumi, bukan menghukum ya, dan menghukumi dunia digital. Masih sangat dibutuhkan. Jadi, tidak akan ada pencabutan Undang-Undang ITE," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (29/4/2021).
Namun, lanjut Mahfud yang memberikan keterangan pers melalui YouTube Kemenko Polhukam usai menggelar rapat bersama Kemenkominfo, Kejagung dan Polri, akan ada revisi secara terbatas.
"Ada revisi semantik atau revisi terbatas yang sangat kecil," kata Mahfud.
Revisi terbatas itu, yaitu penambahan beberapa aspek dalam pasal yang dianggap multitafsir, salah satunya memasukkan penjelasan pada sejumlah pasal di UU ITE.
Baca Juga: ICJR: Revisi UU ITE Diperlukan untuk Lindungi Korban Kekerasan Seksual
"Seperti misalnya, apa sih penistaan itu? Apa sih fitnah itu? Apa sih? Jadi dijelaskan," ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Mahfud menuturkan tujuan penambahan penjelasan agar ketentuan yang dianggap pasal karet tak disalahgunakan, sehingga seluruh pihak memahami konteks regulasi tersebut. [Antara]