Suara.com - Setelah lima hari pencarian, kapal selam KRI Nanggala-402 ditemukan terpecah menjadi tiga bagian dan berada di dasar laut dengan kedalaman lebih dari 800 meter di Laut Bali.
Tanpa ada awak kapal yang selamat - dan tidak ada kepastian penyebab bencana ini akan dapat diketahui - Angkatan Laut Indonesia (TNI AL) harus memutuskan seberapa besar upaya yang akan dilakukan untuk memeriksa dan mengangkat kapal selam itu.
Bencana serius
Pemeriksaan awal menunjukkan bahwa kapal selam yang diproduksi di Jerman pada 1978 itu pecah menjadi tiga bagian, dan lambung kapal terpisah dari buritan (bagian belakang).
Baca Juga: Soal KRI Nanggala 402, Pengamat: Alarm Bagi Pemerintah Evaluasi Alutsista
TNI AL telah merilis rekaman video, yang diambil dari oleh kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh (remote operated vehicle atau ROV) milik kapal MV Swift Rescue bantuan pemerintah Singapura. Rekaman itu menunjukkan salah satu sirip yang ada di buritan.
Ada pula gambar-gambar lain yang sepertinya menunjukkan bagian-bagian dalam kapal, tapi belum dapat dipastikan bagian-bagian mana tepatnya.
Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menemukan kapal selam San Juan milik Argentina yang tenggelam pada 2017. Nanggala ditemukan hanya dalam beberapa hari pencarian, ini menunjukkan bahwa kapal ini berada tidak jauh dari posisi saat melakukan kontak terakhir.
Maka apa pun kecelakaan yang terjadi, kemungkinan terjadi saat kapal ini sedang menyelam.
Pada tahap ini, mustahil bagi kita untuk mengetahui apa yang memicu kecelakaan. Penyebab-penyebab dapat meliputi kegagalan material atau mekanik yang menyebabkan salah satu atau lebih kompartemen kemasukan air secara fatal.
Baca Juga: Kenangan Keluarga Kru KRI Nanggala Serda Hendro: Baru Kirim Baju Kopaska
Mudah bagi kapal selam untuk kehilangan kendali kedalaman akibat kehilangan daya apung.
Ada juga kemungkinan terjadinya kebakaran - sesuatu yang sangat ditakuti oleh awak kapal selam dalam ruang kapal yang sangat tertutup.
Atau kemungkinan kesalahan manusia (human error). Namun awak kapal selam telah berlatih prosedur operasi standar secara sangat hati-hati dan sangat ekstensif.
Kegagalan material adalah penyebab yang paling mungkin.
Apapun pemicunya, nasib tragis Nanggala tak terhindarkan setelah kapal itu turun ke kedalaman yang melebihi kemampuan lambung dan perlengkapan untuk menahan tekanan. Tidak dapat segera diketahui dengan jelas pada kedalaman berapa hal ini terjadi.
Kapal selam seperti Nanggala memiliki batas aman kedalaman operasi minimal 260 meter. Angka “crush depth” atau kedalaman yang merusak kapal pasti jauh lebih besar.
Tapi risiko rusaknya lambung kapal meningkat dengan cepat seiring bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman 800 meter, Nanggala tidak memiliki kemungkinan untuk tetap utuh.
Upaya masuk akal yang bisa dilakukan
Pemerintah berharap untuk mengangkat Nanggala. Ini mungkin untuk dilakukan, dan ada preseden serupa.
Misi Amerika Serikat (AS) - diberi kode “Azorian” - pada 1974, misalnya melibatkan pengangkatan secara diam-diam (dari dasar laut yang lebih dalam) komponen-komponen kapal selam Uni Soviet yang membawa peluru kendali.
Bagaimana pun, mengangkat logam seberat 1.300 ton dari kedalaman lebih dari 800 meter adalah tugas besar. Hanya ada sedikit organisasi penyelamatan yang mampu melakukan itu.
Biayanya juga akan sangat mahal. Mungkin akan ada pendapat bahwa TNI Al yang memiliki anggaran terbatas lebih baik menggunakan uang yang mereka miliki untuk hal-hal lain, termasuk merawat empat kapal selam yang tersisa.
Terlebih lagi, tidak ada jaminan penyebab kecelakaan ini secara spesifik akan dapat diketahui.
Kapal selam adalah sebuah mesin yang besar dan rumit, dan sistem “kotak hitam” seperti yang ada di penerbangan tidak akan mampu mencakup segala kemungkinan masalah yang bisa terjadi pada Nanggala.
Pendekatan terbaik adalah menindaklanjuti pemeriksaan visual awal terhadap puing kapal dengan pemetaan lebih rinci pada lokasi puing dan semua material yang jatuh di dasar laut.
Jika dilakukan, dan dibantu dengan pengangkatan beberapa komponen secara selektif, ini akan membantu menyediakan jawaban.
Mencegah kecelakaan pada masa depan
TNI Al kini akan melakukan pemeriksaan internal. Berapa pun besarnya kemungkinan Nanggala mengalami kegagalan material, peninjauan ulang standar pelatihan dan prosedur operasi akan tetap dilakukan.
Divisi kapal selam TNI AL telah mendapat tantangan setelah menambah jumlah kekuatan dari dua kapal menjadi lima belum lama ini. Ada tambahan kapal selam baru pada 2017, 2018 dan yang terbaru pada bulan lalu - yaitu kapal selam pertama yang dirakit di dalam negeri, KRI Alugoro.
KRI Cakra-401, saudara kembar Naggala, yang telah mengalami perbaikan dan modernisasi, mungkin akan berhenti beroperasi untuk meminimalkan kecelakaan serupa.
Berhenti beroperasi atau tidak, Cakra akan diperiksa secara saksama untuk mencari tahu apakah ada masalah-masalah yang tidak terdeteksi terkait kelelahan logam atau potensi kegagalan lain.
Walau telah diperbaiki secara keseluruhan dan banyak menerima perangkat dan sistem baru, Cakra telah beroperasi lebih dari 40 tahun. Ini waktu yang lama.
Solidaritas dari seluruh dunia
Gugurnya 53 pelaut adalah tragedi untuk Indonesia dan angkatan lautnya. Di seluruh dunia, khususnya orang-orang di angkatan laut dan kapal selam turut berbagi kedukaan.
Operasi kapal selam mengandung risiko tinggi dan memiliki tuntutan besar pada setiap awak yang terlibat. Mereka harus memiliki tingkat kerja sama tinggi dan kepercayaan mutlak pada profesionalisme para awak lain di dalam kapal selam.
Budaya profesionalisme yang ini sangat tinggi sehingga membentuk solidaritas internasional dalam kejadian seperti ini.
Terlepas dari kecepatan dan keterbukaan TNI AL dalam mengelola situasi ini, yang juga membesarkan hati adalah kesiapan negara-negara lain untuk menyediakan bantuan secara cepat dan efektif, dan kegotongroyongan yang terbentuk.
Hal ini paling tampak dalam peran kunci kapal selam penyelamat dari Singapura dalam penemuan Nanggala. Namun Amerika Serikat, Australia, India, Malaysia, dan negara-negara lain juga dengan cepat menyediakan bantuan yang mereka miliki.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.