Suara.com - Para ilmuwan memanggang meteorit dalam oven dan mempelajari gas yang dikeluarkan batuan luar angkasa tersebut, untuk menyelidiki atmosfer planet asing berbatu.
Dalam sebuah studi baru, para peneliti di University of Calfornia mengambil sampel dari tiga meteorit murni yang jatuh ke Bumi pada waktu dan tempat berbeda di seluruh dunia.
Tim ahli memanggangnya dalam tungku pada suhu 1.200 derajat Celcius. Para ilmuwan menganalisis gas yang berasal dari mineral di bebatuan saat meteorit tersebut memanas dalam oven.
"Informasi ini akan menjadi hal penting ketika kita mulai dapat mengamati atmosfer planet ekstrasurya dengan teleskop baru dan instrumentasi canggih," kata Maggie Thompson, ilmuwan dan rekan penulis studi di University of Calfornia.
Baca Juga: Jejak Kaki Dinosaurus Terbesar Ditemukan di Inggris
Ketiga meteorit yang dipanggang adalah kondrit karbon tipe CM, terbuat dari bahan dianggap mewakili jenis benda yang sama membentuk Matahari dan planet-planet di tata surya.
"Meteorit ini adalah bahan sisa dari material pembangun yang membentuk planet-planet di tata surya kita," tambah Thompson, dikutip dari Space.com, Selasa (20/4/2021).
Menurut Thompson, kondrit berbeda dari jenis meteorit lainnya karena tidak cukup panas untuk meleleh.
Sehingga, kondrit memiliki beberapa komponen primitif yang dapat memberi tahu para ahli tentang komposisi tata surya di sekitar waktu pembentukan planet.
Meteorit ini termasuk Murchison chondrite yang jatuh di Australia pada 1969, Jbilet Wilselwan yang ditemukan di Sahara Barat pada 2013, dan Aguas Zarcas yang mendarat di Kosta Rika pada 2019.
Baca Juga: Ilmuwan Kembangkan Otak Manusia di Microchip, Lebih Murah dari Kopi
Oven tempat batuan antariksa itu dipanggang dihubungkan ke sistem vakum dan spektrometer massa, alat yang memisahkan isotop dan molekul menurut massanya memungkinkan para ilmuwan menentukan komposisi sampel.
Proses tersebut pada dasarnya mensimulasikan pembentukan atmosfer planet sejak dini.
Para ilmuwan menemukan uap air menjadi gas utama yang dihasilkan oleh meteorit selama proses pemanggangan.
Tetapi bebatuan juga menghasilkan sejumlah besar karbon monoksida, karbon dioksida, dan sejumlah kecil gas hidrogen serta hidrogen sulfida.
Tim membandingkan temuan yang telah dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy pada 15 April tersebut dengan prediksi yang dibuat berdasarkan komposisi meteorit.
"Secara kualitatif, kami mendapatkan hasil yang sangat mirip tetapi ada juga beberapa perbedaan," jelas Thompson.
Ini bukan pertama kalinya para ilmuwan memanaskan meteorit untuk mempelajarinya. Para ahli berharap dapat melanjutkan pekerjaan ini dengan lebih banyak meteorit di masa mendatang.