Suara.com - Penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal PLOS One pada 14 April, mengungkapkan bahwa anjing dapat mendeteksi virus Corona (Covid-19) dalam sampel urin dengan akurasi 96 persen.
Namun, bukan berarti ini dapat mengubah uji tes swab pada hidung karena anjing hanya bisa membedakan antara hasil positif dan negatif, dalam sampel yang telah digunakan dalam latihan.
Anjing diketahui mampu mengendus aroma spesifik untuk berbagai penyakit dan penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa Covid-19 juga memiliki ciri kuat yang dapat dideteksi anjing dalam sampel air liur dan keringat.
Menurut penelitian tersebut, anjing bahkan telah digunakan untuk mendeteksi Covid-19 di bandara Dubai.
Baca Juga: Hendak Selamatkan Anjing, Pria Melawi Kalbar Tewas Tertimpa Mobil
Tetapi tidak diketahui apakah anjing dapat mendeteksi virus dalam sampel urin, di mana jumlah virus biasanya lebih rendah.
Untuk mengetahuinya, sekelompok peneliti melatih delapan Labrador retriever dan satu Belgian Malinois untuk mengenali aroma zat sintetis yang dikenal sebagai senyawa deteksi universal (UDC).
Tim menempatkan senyawa tersebut di salah satu dari 12 port "roda aroma" dan memberi hadiah kepada anjing-anjing itu setiap kali hewan tersebut bereaksi terhadap port yang berisi UDC.
Setelah anjing belajar mengenali UDC, para peneliti kemudian menggunakan roda aroma untuk melatih anjing bereaksi terhadap sampel urin yang diambil dari pasien positif Covid-19.
Sampel yang telah dinonaktifkan tersebut diambil dari tujuh orang pasien, mencakup dua orang dewasa dan lima anak-anak, serta enam orang anak yang dites negatif.
Baca Juga: Putar Game di Sajadah sambil Salat, Cewek Berjilbab Elus Anjing
Dalam pelatihan, anjing diberi dua skenario kondisi, pertama di mana roda aroma berisi UDC di satu port dan bau distraktor di port lain dan kedua di mana roda aroma berisi semua bau distraktor.
Para peneliti menemukan bahwa setelah tiga minggu pelatihan, semua anjing dapat mengidentifikasi sampel Covid-19 positif dengan akurasi rata-rata 96 persen.
Spesifisitas keseluruhan adalah 99 persen, tetapi sensitivitas sekeluruhannya adalah 68 persen.
Alasan sensitivitas yang lebih rendah mungkin karena cara tim melakukan pengujian yang ketat.
Menurut studi, jika anjing melewati port dengan sampel positif palsu satu kali tanpa memberikan reaksi tanggapan, itu akan diberi label sebagai terlewatkan.
"Ini bukan hal sederhana yang dapat dilakukan anjing. Anjing harus spesifik dalam mendeteksi bau infeksi, tetapi mereka juga harus menggeneralisasi bau latar belakang orang yang berbeda," kata Cynthia Otto, direktur University of Pennsylvania School of Veterinary Medicine Working Dog Center.
Dilansir dari Live Science, Senin (19/4/2021), pengujian ini memang tidak mudah.
Anjing-anjing tersebut cenderung membedakan antara aroma pasien yang sebenarnya dan bukan status infeksinya.
Selain itu, anjing juga bingung dengan sampel dari pasien yang baru saja pulih dari Covid-19 tetapi memiliki hasil tes negatif.
Tetapi karena anjing dilatih berulang kali pada sampel yang sama dari pasien yang sama, hewan itu tidak dapat menggeneralisasi ke sampel yang benar-benar baru.
Pada penelitian selanjutnya, para ahli harus melatih anjing pada sampel yang beragam dan tidak berulang kali menguji pada sampel dari individu yang sama.