Kombinasi dari semua karakter lebih berpotensi mematikan dan menghancurkan capaian-capaian pembangunan yang dibangun dalam skala dekade, seperti di Nusa Tenggara Timur pekan ini.
Langkah mitigasi risiko
Siklon merupakan fenomena alam yang yang hampir mustahil bisa dicegah. Yang bisa kita lakukan adalah menyusun kebijakan dan mendorong perilaku yang bisa mengurangi risiko menjadi korban.
Kementerian Pekerjaan Umum perlu memperbarui standar bangunan, khususnya untuk pembebanan dinding dan atap rumah. Sejauh ini kekuatan angin maksimum yang ada dalam standar bangunan yang dipakai di daerah masih jauh dari Siklon Kategori 1 yang dapat mencapai 100 km per jam.
Misalnya, Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 1727/2013 mengatur aturan pembebanan atap dan struktur lainnya dengan kekuatan angin sekitar 70 km per jam. Kekuatan di atas ini, sekadar diserahkan ke pihak arsitek dan insinyur sipil.
Sedangkan revisinya (SNI 1727/2020) baru diterbitkan pada 2020. Walau belum sensitif pada variasi karakter siklon tropis, revisi ini mulai memperhitungkan “wilayah rawan topan” yang punya peluang terdampak kecepatan angin dasar di atas 185 km per jam. Isinya masih perlu di pahami oleh para pelaku konstruksi.
Namun, mitigasi bukan hanya soal keamanan gedung dan bangunan semata.

Atap dan sampah-sampah rumah tangga yang terbang dapat menghancurkan kehidupan yang dihantamnya.
Di Australia Utara, masyarakat memiliki budaya kelola siklon, termasuk setiap tahun membersihkan material yang mudah terbang sebelum memasuki musim siklon. Hal ini bertalian erat dengan jasa layanan pengelolan sampah pemerintah daerah yang harus dibangun serius.
Baca Juga: Menkominfo Kunjungi Flores Timur, Cek Jaringan Telekomunikasi Usai Bencana
Perusahaan telekomunikasi dan listrik perlu mendesain ulang pemasangan infrastruktur telekomunikasi dan kelistrikan seperti tiang dan kabel agar terhindar dari hantaman kekuatan badai.