KPPU Beberkan Kendala Ciptakan Pesaingan Usaha Sehat Industri ICT

Dythia Novianty Suara.Com
Kamis, 25 Maret 2021 | 08:15 WIB
KPPU Beberkan Kendala Ciptakan Pesaingan Usaha Sehat Industri ICT
Logo KPPU. [KPPU]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Terbitnya PP Postelsiar mendapat perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Guntur Syahputra Saragih, Wakil Ketua KPPU mengaku mengapresiasi payung hukum yang diterbitkan pemerintah tersebut.

Namun, Guntur menyebut, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan dari PP Postelsiar agar pelaku industri ICT (informasi, teknologi, dan komunikasi) agar benar-benar bisa melakukan persaingan bisnis sehat.

Pertama, terkait Pasal 30 ayat 2 PP Postelsiar yang menyebutkan Menteri dapat menetapkan tarif batas atas dan atau tarif batas bawah Penyelenggaraan Telekomunikasi, dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha sehat.

"Untungnya di ayat ini disebutkan dapat menetapkan tarif. Tetapi apakah benar-benar sudah terjadi kegagalan pasar sehingga regulator harus turun tangan menetapkan tarif," kata Guntur dalam webinar ‘Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar’, Rabu (24/3/2021).

Baca Juga: Banyak Direksi dan Komisaris Rangkap Jabatan, Jubir BUMN : Belum Ada Data

Diharapkan penetapan tarif ini melihat sudut pandang masyarakat, bukan hanya dari sisi menjaga keberlangsungan operator yang saling berkompetisi.

Kedua, terkait belum terpenuhinya kondisi kesetaraan level of playing field antara operator dengan OTT asing.

Webinar Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsia, Rabu (24/3/2021). [Screenshot]
Webinar Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsia, Rabu (24/3/2021). [Screenshot]

Pasal 15 PP Postelsiar menyatakan, Pelaku Usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet, kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan nondiskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

"Kasarnya, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU hanya bisa melakukan penindakan terhadap perusahaan yang badan hukumnya ada di dalam negeri," ujarnya.

Dia menambahkan, para OTT mungkin saja potensi pelanggaran persaingan terjadi misalnya saja urusan perpajakan.

Baca Juga: Gandeng Microsoft, BRI Tingkatkan Transformasi Operasi Layanan dan Kultur

"Tetapi KPPU sulit untuk melihat hal ini karena OTT ada di luar negeri, kami tidak punya wewenang penindakan extra territory," ungkapnya.

Ketiga, terkait pengalihan frekuensi antar badan usaha yang tidak perlu lagi dikembalikan ke negara juga mendapat sorotan KPPU.

Setiap merger perusahaan itu perlu menyampaikan notifikasi ke KPPU yang akan melihat dampaknya dari sisi persaingan usaha.

"Namun karena UU nya menyebutkan pemberian notifikasi dilakukan setelah merger terjadi, bukan pra-merger maka kalau KPPU menolak merger tersebut akan menjadi masalah tersendiri," pungkasya.

Ilustrasi hukum. [Shutterstock]
Ilustrasi undang-undang. [Shutterstock]

Sebagai informasi, terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada penghujung tahun lalu, berkaitan erat dengan kecepatan melajunya industri ICT.

Hal ini dipertegas dengan kehadiran beleid turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI